Cerita Tentang Kota dan Kita
Perjumpaan tidak pernah kita
pikirkan sedemikian cepat
Pengabulan doa atas temu tidak
pernah terlintas sebegitu mudah dipikirku
Tapi apalah kita bilamana Tuhan
telah mempertemukan
Waktu dan jarak tergulung manis
mengikuti jalan skenario
Senja tepat jatuh diantara temu
kita dalam hening
Angin menyalami kita yang menjadi
kaku di tawan temu
Lama kita duduk berdua dan
menggenggam tanpa ada penengah diantaranya
Katamu, yang demikian ini sudah
teramat membahagiakan.
Y
|
ogyakarta,
kota yang biasa disebut dengan kota pelajar ini sudah menjadi saksi diantara
temu sepasang manusia yang memiliki kecintaan diantaranya. Kota yang teramat
indah, kota yang membuat siapapun yang menginjakkan kakinya disini selalu ingin
kembali, lagi, dan lagi.
Aku masih terduduk betah menikmati
senja di perempatan malioboro sore itu, aku tidak sedang kelelahan karena telah
mengelilingi jalan malioboro sejak siang, justru aku sedang menunggu seseorang
yang belum pernah aku temui sebelumnya. Namanya Ibas, Fikri Ridho Baskoro
lengkapnya. Entah dari mana nama panggilannya bisa sedemikian jauh, tapi
setauku Ibas adalah panggilan ibunda kesayangannya yang tinggal jauh di kota
kemang, Bandung.
Aku
sudah sampai di kota ini sekitar tiga puluh menit yang lalu. Aku terdampar
dibangku kosong di perempatan jalan
malioboro sendirian. Entah apa penyebabnya yang jelas malioboro sore ini
sedikit lengang. Aku masih diam memainkan telefon genggam sampai aku tersadar
ada seseorang yang berdiri tepat didepanku dan membuatku mendongak.
“hai
Ra.” Sapanya ramah dengan senyum tersungging. Manis.
“hai
Bas.” Jawabku kaku menyadari jarak diantara kami yang teramat dekat.
“Nunggu
lama ya? Sorry ya Ra, mendadak dosen minta aku bimbingan waktu mau jemput
kamu.”
“Ngga
papa, lagian aku juga baru sampai kok.” Jawabku
“Yaudah
yuk cabut, udah sore nanti keburu gelap.”
Tanpa
aku minta, Ibas membawakan tas ransel yang sedari tadi aku bawa. Aku terdiam,
belum apa-apa ia sudah pandai mengambil hati, dasar perempuan atau dasar
laki-laki. Sehabis menjemputku ia langsung membawaku ketempat makan, ternyata
disana aku telah ditunggu dua orang perempuan yang merupakan teman baik Ibas di
jogja. Banyak sekali cerita yang sudah kami buat. Banyak sekali canda yang
sudah tercipta dari orang yang satu jam lalu masih menjadi asing buatku.
“Yang
rambut pendek ini namanya kiken, dan yang pake kerudung ini namanya sea.”
Begitu Ibas mengenalkan mereka kepadaku.
“hai
kak, panggil saja ara.” Salamku ramah.
“hai
ara.” Sapa mereka berdua hampir bersamaan.
Makanan
sudah habis dalam sekejap dilahap kami berempat, rupanya kami memiliki
kesamaan; sama-sama kelaparan. Sudah hampir satu jam kami menghabiskan waktu
hanya untuk makan yang sebenarnya makan tidak pernah selama itu. Setelah makan
kami berempat keluar dari tempat makan melajukkan motor masing-masing karenanya
kita berpisah diperempatan malioboro, seingatku tadi kiken bercerita bahwa ia
akan membelikan blangkon untuk adiknya yang ikut meramaikan peringatan hari
kartini esok hari.
Setelah
berpisah dengan kiken dan sea, ibas membawaku kerumah yang ia sewa hanya untuk
meletakkan tas dan menyuruhku mandi. Rumahnya sederhana dan tidak terlalu luas
tetapi cukup nyaman menurutku. Terdapat empat kamar huni dan satu kamar tamu. Teruntuk
ukuran mahasiswa, rumahnya terasa lebih mewah dari biasanya.
“Mandi
sanah, bersihin tuh badan yang udah kena debu dari semarang. Udah sampe dekil
begitu lagi. Hahaha.” Candanya membuat canggungku luruh.
“yaudah
aku mau mandi dulu, jangan ngintip lho?! Nanti bintita! Hahaha.” Ledekku.
Selesai
mandi Ibas sudah berdiri didepan ruang tamu seperti menungguiku, Ibas buru-buru
menyuruhku bersiap-siap. Dari ceritanya tadi dia berniat akan mengajakku
melihat jalanan kota jogja malam ini. Aku yang masih berdiri mematung mengikuti
apa saja yang ia perintahkan. Malam ini jalanan begitu lengang, entah karena
memang lengang atau karena hatiku yang sedang berbunga-bunga. Semenjak keluar
dari gerbang rumah sampai melewati jalan berkilo-kilo tidak ada obrolan
diantara kami. Mungkin Ibas sedang berdialog dengan pikirannya sendiri sedang
aku sibuk melihat kanan kiri jalanan kota yang menampilkan berjejer-jejer toko
dengan macam-macam barang yang ditawarkan. Ini bukan kali pertama aku pergi
kejogja, tapi untuk menghabiskan waktu malam di jogja ini, adalah kali pertama.
Aku
sudah berjam-jam mengelilingi jogja malam ini, dari malioboro, tugu jogja,
alun-alun kidul, sleman sampai bukit bintang. Ibarat dari timur sampai barat
dari utara sampai selatan dari jalanan ramai sampai sepi, dari diam sampai
ketawa, dari ketawa sampai perut sakit dan hening yang tercipta karena
tenggorokan kami serak kekeringan. Tak perlu aku jabarkan sedemikian detail
bukan, bahwa aku teramat merindukan waktu diantara dua tawa sedemikian ini.
Ibas
tiba-tiba berhenti di angkringan kopi joss sederhana yang terletak di pinggir
jalan, ia membeli dua gelas air minum dan sedikit makanan kecil untuk menemani
kami menghabiskan malam. Terpaan angin sedemikian manis malam ini, sampai tak
terdengar bisikannya yang menyuruhku segera pulang, sepertinya ia mengerti
tentang dua manusia yang tengah berbahagia merayakan kebersamaan.
Sekarang
masih pukul 4 pagi, tapi telefon genggamku sudah menderu-deru menciptakan irama
yang membuatku terbangun di pagi buta. Seingatku aku tidak pernah menghidupkan
alarm sepagi ini. Aku berusaha menggapai telefon diatas meja dengan mata yang
hanya rela mengintip, ternyata ada telefon entah dari siapa. Tanpa berfikir,
langsung saja aku mengangkat dan meletakannya disamping telingaku dengan mata
yang masih terkatup rapat.
“Sudah
bangun?” Tanya seseorang diseberang sana.
“Barusan
bangun. Maaf siapa?” jawabku sengenanya.
“ini
aku.” Jawabnya singkat
Aku
langsung terlonjak dari tidurku yang entah seperti apa barusan. Mataku langsung
membuka melupakan kantuk yang sedari tadi masih menggantung mengajaku untuk
terlelap lagi. Aku terkejut mendengar kata “aku” yang dikatakan seseorang
diseberang sana. Sudah dengan keadaan duduk aku bertanya sedikit cemas.
“Ibas?!”
tanyaku.
“Cepat
keluar, udah siap kan? Udah daritadi aku nungguin kamu didepan kamar tau!”
Jawab Ibas dengan nada kesal.
Aku
baru ingat, semalam Ibas bercerita ingin mengajakku kesuatu tempat untuk
melihat sesuatu yang aku kagumi. Tapi tidak sempat terfikir bahwa waktu yang ia
katakan tadi malam benar-benar serius. Pukul 4 pagi? Masih dingin, masih gelap,
mau kemana? Mana ada tempat wisata yang sudah buka jam segini? Pikirku. Tapi
tetap saja aku langsung mandi dan bersiap-siap lalu keluar kamar mendekati Ibas
yang sudah siap berdiri di samping motornya diselasar rumah.
“Lama
sih, Ra? Dasar cewe!” Cerocos Ibas
“Abisan
kamu mau ngajakin aku kemana jam segini? Mana dingin mana masih gelap. Mau
kemana sih?” tanyaku dengan muka cemberut.
“Diem
bawel, cepet naik” jawab Ibas
Aku
langsung saja duduk di bagian belakang tanpa menghiraukan pertanyaannya dengan
ekspresi cemberut. Setelah hampir satu jam berjalan kami berdua melewati jalan
yang berkelok, gelap, hanya ada kami berdua, sepi seperti ditengah hutan
ditambah lagi dingin dan Ibas yang hanya diam, membuat aku makin merinding
saja, seram.
Benar
saja setelah satu jam melewati jalan yang berkelok, gelap, sepi dan
menyeramkan, aku sampai disebuah tempat yang ia sebut surga bagi para pecinta
keindahan. Pertama kali sampai, bibirku tidak pernah mengungkapkan satu
kalimatpun kecuali tersenyum. Beribu kata tidak akan pernah habis menggambarkan
tempat yang sedemikian indah. Dan yang tidak pernah aku sadari adalah dari arah
belakang aku melihat matahari menyembul dari balik awan dan menerpa wajahku
sedemikian seni. Aku teramat mencintai waktu sedemikian ini, matahari terbit
yang aku lihat dari ketinggian bersama seseorang yang tidak pernah aku pikirkan
sebelumnya.
“Terimakasih,
Bas.” Ungkapku pelan.
Ibas
hanya tersenyum tanpa membalas ucapanku barusan. Banyak sekali awan yang
mengelilingiku, luas sekali hamparan hijau yang tersembul dari balik awan yang
bagai samudera, terdengar pula kicauan burung bahkan segerombolan monyet yang
ramai-ramai bergelantungan di pohon di sebelah bukit bawah. Bagaimana tidak
tempat ini di namai surga dunia, di ketinggian dengan samudera kabut, hamparan
bukit yang teramat luas, sungai yang berkelok terlihat jelas dibalik awan dan
yang pasti waktu yang teramat aku suka: matahari terbit.
Sudah
berjam-jam kami berdiam, Ibas sibuk memainkan kameranya kesana kemari. Aku yang
hanya diam saja sering sekali menjadi model dadakannya tanpa aku sadari. Sering
sekali aku yang meminta foto, tapi ia yang sibuk berpose kesana kesini sampai
terkadang membuat tawa diantara kami. Tak bisakah kau membayangkan kami?. Ia
pemotret yang baik, Pengambil moment yang handal, ia pemetik senar yang indah
dan juga ia pelantun lagu yang merdu. Dan dari kesekian pendengar setianya,
salah satunya adalah. Aku.
Matahari
semakin tinggi, samudera awan mulai menghilang, aku dan Ibas bergegas pulang
menuruni anak tangga karena disini keadaan semakin ramai. Beruntung, hari ini
tidak ramai seperti hari libur biasanya. Aku dan Ibas sudah siap meninggalkan
tempat ini dan doa yang mengiringiku pagi ini ialah semoga aku bisa kembali
kesini, mengulang waktu yang telah berlalu beberapa menit yang lalu dengan
orang yang sama,tak lain dan tak berubah,
0 komentar