Cerita Tentang Kota dan Kita

by - 01.28

Perjumpaan tidak pernah kita pikirkan sedemikian cepat
Pengabulan doa atas temu tidak pernah terlintas sebegitu mudah dipikirku
Tapi apalah kita bilamana Tuhan telah mempertemukan
Waktu dan jarak tergulung manis mengikuti jalan skenario

Senja tepat jatuh diantara temu kita dalam hening
Angin menyalami kita yang menjadi kaku di tawan temu
Lama kita duduk berdua dan menggenggam tanpa ada penengah diantaranya
Katamu, yang demikian ini sudah teramat membahagiakan.

  Y
ogyakarta, kota yang biasa disebut dengan kota pelajar ini sudah menjadi saksi diantara temu sepasang manusia yang memiliki kecintaan diantaranya. Kota yang teramat indah, kota yang membuat siapapun yang menginjakkan kakinya disini selalu ingin kembali, lagi, dan lagi.
            Aku masih terduduk betah menikmati senja di perempatan malioboro sore itu, aku tidak sedang kelelahan karena telah mengelilingi jalan malioboro sejak siang, justru aku sedang menunggu seseorang yang belum pernah aku temui sebelumnya. Namanya Ibas, Fikri Ridho Baskoro lengkapnya. Entah dari mana nama panggilannya bisa sedemikian jauh, tapi setauku Ibas adalah panggilan ibunda kesayangannya yang tinggal jauh di kota kemang, Bandung.
Aku sudah sampai di kota ini sekitar tiga puluh menit yang lalu. Aku terdampar dibangku kosong  di perempatan jalan malioboro sendirian. Entah apa penyebabnya yang jelas malioboro sore ini sedikit lengang. Aku masih diam memainkan telefon genggam sampai aku tersadar ada seseorang yang berdiri tepat didepanku dan membuatku mendongak.
“hai Ra.” Sapanya ramah dengan senyum tersungging. Manis.
“hai Bas.” Jawabku kaku menyadari jarak diantara kami yang teramat dekat.
“Nunggu lama ya? Sorry ya Ra, mendadak dosen minta aku bimbingan waktu mau jemput kamu.”
“Ngga papa, lagian aku juga baru sampai kok.” Jawabku
“Yaudah yuk cabut, udah sore nanti keburu gelap.”
Tanpa aku minta, Ibas membawakan tas ransel yang sedari tadi aku bawa. Aku terdiam, belum apa-apa ia sudah pandai mengambil hati, dasar perempuan atau dasar laki-laki. Sehabis menjemputku ia langsung membawaku ketempat makan, ternyata disana aku telah ditunggu dua orang perempuan yang merupakan teman baik Ibas di jogja. Banyak sekali cerita yang sudah kami buat. Banyak sekali canda yang sudah tercipta dari orang yang satu jam lalu masih menjadi asing buatku.
“Yang rambut pendek ini namanya kiken, dan yang pake kerudung ini namanya sea.” Begitu Ibas mengenalkan mereka kepadaku.
“hai kak, panggil saja ara.” Salamku ramah.
“hai ara.” Sapa mereka berdua hampir bersamaan.
Makanan sudah habis dalam sekejap dilahap kami berempat, rupanya kami memiliki kesamaan; sama-sama kelaparan. Sudah hampir satu jam kami menghabiskan waktu hanya untuk makan yang sebenarnya makan tidak pernah selama itu. Setelah makan kami berempat keluar dari tempat makan melajukkan motor masing-masing karenanya kita berpisah diperempatan malioboro, seingatku tadi kiken bercerita bahwa ia akan membelikan blangkon untuk adiknya yang ikut meramaikan peringatan hari kartini esok hari.
Setelah berpisah dengan kiken dan sea, ibas membawaku kerumah yang ia sewa hanya untuk meletakkan tas dan menyuruhku mandi. Rumahnya sederhana dan tidak terlalu luas tetapi cukup nyaman menurutku. Terdapat empat kamar huni dan satu kamar tamu. Teruntuk ukuran mahasiswa, rumahnya terasa lebih mewah dari biasanya.
“Mandi sanah, bersihin tuh badan yang udah kena debu dari semarang. Udah sampe dekil begitu lagi. Hahaha.” Candanya membuat canggungku luruh.
“yaudah aku mau mandi dulu, jangan ngintip lho?! Nanti bintita! Hahaha.” Ledekku.
Selesai mandi Ibas sudah berdiri didepan ruang tamu seperti menungguiku, Ibas buru-buru menyuruhku bersiap-siap. Dari ceritanya tadi dia berniat akan mengajakku melihat jalanan kota jogja malam ini. Aku yang masih berdiri mematung mengikuti apa saja yang ia perintahkan. Malam ini jalanan begitu lengang, entah karena memang lengang atau karena hatiku yang sedang berbunga-bunga. Semenjak keluar dari gerbang rumah sampai melewati jalan berkilo-kilo tidak ada obrolan diantara kami. Mungkin Ibas sedang berdialog dengan pikirannya sendiri sedang aku sibuk melihat kanan kiri jalanan kota yang menampilkan berjejer-jejer toko dengan macam-macam barang yang ditawarkan. Ini bukan kali pertama aku pergi kejogja, tapi untuk menghabiskan waktu malam di jogja ini, adalah kali pertama.
Aku sudah berjam-jam mengelilingi jogja malam ini, dari malioboro, tugu jogja, alun-alun kidul, sleman sampai bukit bintang. Ibarat dari timur sampai barat dari utara sampai selatan dari jalanan ramai sampai sepi, dari diam sampai ketawa, dari ketawa sampai perut sakit dan hening yang tercipta karena tenggorokan kami serak kekeringan. Tak perlu aku jabarkan sedemikian detail bukan, bahwa aku teramat merindukan waktu diantara dua tawa sedemikian ini.
Ibas tiba-tiba berhenti di angkringan kopi joss sederhana yang terletak di pinggir jalan, ia membeli dua gelas air minum dan sedikit makanan kecil untuk menemani kami menghabiskan malam. Terpaan angin sedemikian manis malam ini, sampai tak terdengar bisikannya yang menyuruhku segera pulang, sepertinya ia mengerti tentang dua manusia yang tengah berbahagia merayakan kebersamaan.
Sekarang masih pukul 4 pagi, tapi telefon genggamku sudah menderu-deru menciptakan irama yang membuatku terbangun di pagi buta. Seingatku aku tidak pernah menghidupkan alarm sepagi ini. Aku berusaha menggapai telefon diatas meja dengan mata yang hanya rela mengintip, ternyata ada telefon entah dari siapa. Tanpa berfikir, langsung saja aku mengangkat dan meletakannya disamping telingaku dengan mata yang masih terkatup rapat.
“Sudah bangun?” Tanya seseorang diseberang sana.
“Barusan bangun. Maaf siapa?” jawabku sengenanya.
“ini aku.” Jawabnya singkat
Aku langsung terlonjak dari tidurku yang entah seperti apa barusan. Mataku langsung membuka melupakan kantuk yang sedari tadi masih menggantung mengajaku untuk terlelap lagi. Aku terkejut mendengar kata “aku” yang dikatakan seseorang diseberang sana. Sudah dengan keadaan duduk aku bertanya sedikit cemas.
“Ibas?!” tanyaku.
“Cepat keluar, udah siap kan? Udah daritadi aku nungguin kamu didepan kamar tau!” Jawab Ibas dengan nada kesal.
Aku baru ingat, semalam Ibas bercerita ingin mengajakku kesuatu tempat untuk melihat sesuatu yang aku kagumi. Tapi tidak sempat terfikir bahwa waktu yang ia katakan tadi malam benar-benar serius. Pukul 4 pagi? Masih dingin, masih gelap, mau kemana? Mana ada tempat wisata yang sudah buka jam segini? Pikirku. Tapi tetap saja aku langsung mandi dan bersiap-siap lalu keluar kamar mendekati Ibas yang sudah siap berdiri di samping motornya diselasar rumah.
“Lama sih, Ra? Dasar cewe!” Cerocos Ibas
“Abisan kamu mau ngajakin aku kemana jam segini? Mana dingin mana masih gelap. Mau kemana sih?” tanyaku dengan muka cemberut.
“Diem bawel, cepet naik” jawab Ibas
Aku langsung saja duduk di bagian belakang tanpa menghiraukan pertanyaannya dengan ekspresi cemberut. Setelah hampir satu jam berjalan kami berdua melewati jalan yang berkelok, gelap, hanya ada kami berdua, sepi seperti ditengah hutan ditambah lagi dingin dan Ibas yang hanya diam, membuat aku makin merinding saja, seram.
Benar saja setelah satu jam melewati jalan yang berkelok, gelap, sepi dan menyeramkan, aku sampai disebuah tempat yang ia sebut surga bagi para pecinta keindahan. Pertama kali sampai, bibirku tidak pernah mengungkapkan satu kalimatpun kecuali tersenyum. Beribu kata tidak akan pernah habis menggambarkan tempat yang sedemikian indah. Dan yang tidak pernah aku sadari adalah dari arah belakang aku melihat matahari menyembul dari balik awan dan menerpa wajahku sedemikian seni. Aku teramat mencintai waktu sedemikian ini, matahari terbit yang aku lihat dari ketinggian bersama seseorang yang tidak pernah aku pikirkan sebelumnya.
“Terimakasih, Bas.” Ungkapku pelan.
Ibas hanya tersenyum tanpa membalas ucapanku barusan. Banyak sekali awan yang mengelilingiku, luas sekali hamparan hijau yang tersembul dari balik awan yang bagai samudera, terdengar pula kicauan burung bahkan segerombolan monyet yang ramai-ramai bergelantungan di pohon di sebelah bukit bawah. Bagaimana tidak tempat ini di namai surga dunia, di ketinggian dengan samudera kabut, hamparan bukit yang teramat luas, sungai yang berkelok terlihat jelas dibalik awan dan yang pasti waktu yang teramat aku suka: matahari terbit.
Sudah berjam-jam kami berdiam, Ibas sibuk memainkan kameranya kesana kemari. Aku yang hanya diam saja sering sekali menjadi model dadakannya tanpa aku sadari. Sering sekali aku yang meminta foto, tapi ia yang sibuk berpose kesana kesini sampai terkadang membuat tawa diantara kami. Tak bisakah kau membayangkan kami?. Ia pemotret yang baik, Pengambil moment yang handal, ia pemetik senar yang indah dan juga ia pelantun lagu yang merdu. Dan dari kesekian pendengar setianya, salah satunya adalah. Aku.
Matahari semakin tinggi, samudera awan mulai menghilang, aku dan Ibas bergegas pulang menuruni anak tangga karena disini keadaan semakin ramai. Beruntung, hari ini tidak ramai seperti hari libur biasanya. Aku dan Ibas sudah siap meninggalkan tempat ini dan doa yang mengiringiku pagi ini ialah semoga aku bisa kembali kesini, mengulang waktu yang telah berlalu beberapa menit yang lalu dengan orang yang sama,tak lain dan tak berubah,

You May Also Like

0 komentar

Pages