Aku
terbangun di tengah malam, dalam keadaan masih mengingat. Tidak bisa tidur
lagi, adalah keluhanku akhir-akhir ini. Hanya bisa membuka laptop, memutar
video yang sudah berulang kali di tonton. Disana terlihat jelas betapa dua
orang manusia begitu menikmati tawa dari waktu yang datang dan pergi. Lalu,
senyumnya memudar, terganti dengan tatapan yang begitu kosong, seperti lorong tak
berpintu. Gelap. Menyakitkan.
Masih
tertulis jelas waktu dan tempat di mana kenangan-kenangan itu pernah di rekam seseorang
diam-diam. Aku yang terus-menerus bercerita tentang apapun, bahkan mulai dari
hal kecil yang sekarang kuakui sangatlah tidak penting. Dari aku yang juga
sering merajuk tiba-tiba, dan ia yang langsung memelukku tanpa permisi. Kenapa
sekarang ingatan itu justru terasa menyakitkan. Aku ingin kembali, di mana
semua yang terlihat sederhana bisa ia buat begitu berarti.
Meski
aku telah ada dalam waktu yang berbeda, tapi aku masih sedikit terhibur, aku
masih mengingat wajahnya dengan begitu jelas, senyumnya yang begitu meneduhkan,
juga wangi tubuhnya. Aku masih bisa mengimajinasikannya dipikiranku, bila aku
sedang rindu seperti ini. Atau jika sulit, aku masih bisa mengingatnya dengan
membuka galeri foto di handphoneku, atau membuka history voicenote yang penuh
dengan candaan atau sekedar sebuah nyanyian lagu akustik yang sering ia kirim
untuk mengiringi tidurku. “Ini aku kirimin lewat voicenote dulu ya nyanyinya,
besok kalo kita udah nikah baru deh aku nyanyi di sebelah kamu sebelum kamu
tidur.” Begitu sederhana, tapi justru membuatku sulit tertidur setelah ia
tiada.
Aku
masih sibuk tersenyum melihat kenangan di handphone milikku sampai tak terasa
waktu sudah pagi, dan terdapat sebuah pesan masuk yang sedikit mengagetkanku.
“Pagi
Dinda, sudah bangunkah?” isi dari pesan yang di kirim oleh nomor tak dikenal.
Aku
masih terdiam, sepertinya aku mengenali sapaannya. Atau aku saja yang
mengada-ada. Tapi, itu tidak asing, tapi, ah sudahlah…
Akhirnya
karena penasaran, aku membalas pesan itu. Dan entah kenapa, percakapan itu
terus saja berlanjut bahkan sampai aku sudah duduk di kelas untuk mengikuti
peerkuliahan siang hari ini. Rasanya begitu familiar,
konsentrasiku buyar pada penjelasan yang di berikan oleh Bu Rani, padahal ia
dosen paling killer di jurusanku. Pikiranku terbang kemana-mana, siapa dia? Dia
siapa? Terus saja berulang-ulang seperti itu sampai Rinda, sahabatku, menepuk
punggungku dan membuat buku yang ku pegang jatuh berantakan ke lantai.
Bruk!
Seisi kelas memandangku sampai membuat Bu Rani menoleh. “Ada apa Dinda?”.
“Nggapapa bu, ini saya kurang erat megangnya. Maaf bu.”
Bu
Rani mengangguk, lalu kembali sibuk menjelaskan materi di depan kelas. Tapi ada
juga yang sedang sibuk menertawaiku dari kursi belakang. Aku hanya meliriknya
sedikit, takut ketahuan Bu Rina. “Rinda, awas aja nanti kalo selese kelas.”
Kelas kembali hening, tapi pikiranku benar-benar terasa ramai. Dan akhirnya kelas
yang entah berisi apa selesai juga.
“Eh
Dinda, Sehat?” Rayu Rinda sambil memegang bahuku. Dari matanya terlihat jelas bahwa
ia benar-benar bahagia melihat sahabatnya ini hampir mati duduk karena takut.
“Eh
Rinda. Waras?” sambil menarik tangannya dari bahuku.
“Rada
sinting.” Jawabnya polos sampai
membuat kami tertawa sedikit keras. Ups!
Rinda
adalah sahabatku dari SMA, kami memutuskan untuk mengambil jurusan dan kampus
yang sama. Tak terasa, aku sudah bersamanya sampai semester 6 ini tanpa pernah
ada masalah sekalipun, kecuali jika menyangkut satu orang yang sangat ia benci.
Aku benar-benar bahagia dan bangga memiliki sahabat sepertinya. Rinda adalah
anak yang mudah bergaul, temannya banyak, tetapi ia tidak pernah melupakanku.
Aku sangat bersyukur, mengingat aku yang memang memiliki kepribadian introvert.
“Makan
yuk.” Ajak Rinda
“Lho,
bukannya kita masih ada kelas?
“Ah
elah pelupanya kumat lagi. Gada din, gada.” Rinda mengalungkan tangannya di
leherku dan menyeretku ke tempat parkir motor.
Kami
memutuskan untuk makan di tempat kesukaanku, sate taichan bang jalil di jl Monjali
Jogjakarta. Disana pembeli lumayan ramai, dan tiba-tiba aku melihatnya,yang
ternyata sama sekali bukan, tapi aku sempat salah orang sampai dua kali. Rinda
mengenali raut wajahku yang tak lagi bersemangat menghabiskan makananku.
“Kenapa Din?”. Aku terdiam.
Betapa
wajahnya masih terngiang-ngiang di kepalaku, bahkan ketika tanpa sadar aku
masih memikirkannya, menganggap bahwa ia masih ada di sebelahku, mengatakan
lelucon-lelucon yang membuatku tertawa atau sekedar waktu ia yang tertawa ketika
mengambil ekspresi kepedasanku yang katanya selalu lucu dengan kamera
kesayangannya. Bagaimana aku bisa melupakannya, jika setiap hari aku masih
berkutat dengan kenangan-kenangan dan waktu-waktu yang entah sudah berapa ribu
kali tercipta antara aku dan ia.
Setelah
selesai makan, aku memutuskan untuk pulang kekosan. Rinda memutuskan untuk
langsung pulang karena ada tugas yang harus di kumpulkan esok pagi. Sampai
kamar, aku masih melamun sendiri di depan laptop yang sudah menyala. Kejadian
tadi masih terngiang jelas di kepalaku, ketika aku menyangka dua orang yang kulihat
di tempat makan tadi dalah Rio, kekasihku. Bukan, maksudku, mantan kekasihku. Kubuka-buka
lagi video di laptop, aku ingin melihat bentuk wajahnya lebih detail, aku tak
ingin melupakannya. Aku tidak ingin kejadian seperti tadi terulang, bagaimana
bisa aku menganggap ia masih disini. Tanpa sengaja, aku membuka video ketika
aku dan Rio memutuskan untuk mendaki Gunung Merapi di Magelang. Ketika itu
seminggu sebelumnya, Rio secara spontan mengatakan ingin mengajakku, perempuan
sepertiku ini mendaki gunung. Aku sedikit terkejut waktu itu, apa mungkin
perempuan yang memiliki penyakit asma dan alergi dingin sepertiku bisa mendaki
gunung setinggi itu. Namun, Rio tetap menyakinkanku, dia bilang “Gausah
khawatir, aku bakal jagain kamu terus kok. Ga cuma di sini atau di gunung. Aku
janji.” Ucapnya padaku dengan mata yang menunjukan bahwa ia begitu
menyayangiku, tanpa perlu ia ucapkan, aku merasakannya, dengan sangat.
Seminggu
setelah Rio mengatakan niatannya itu, akhirnya kami memutuskan untuk
benar-benar pergi. Kami berdua berangkat dari jogja dari sore hari, dan sampai
Basecamp New Selo sekitar habis isya. Basecamp itu adalah salah satu jalur yang
biasa di gunakan oleh para pendaki untuk memulai perjalanan ke Gunung Merapi
yang terletak di Kota Boyolali. Diperjalanan menuju basecamp, kami di iringi
oleh rintik-rintik hujan dan kabut. Jalan yang berliku, gelap dan sepi
membuatku sedikit takut. Aku mencengkeram pinggang Rio erat sekali. Kulihat
bibirnya tersenyum melihat aku yang ketakutan, dia hanya menggenggam jari jemariku,
seperti hendak mengatakan “Nggapapa, gausah takut, ada aku disini.” Begitu
jelas, aku masih bisa mengingatnya begitu jelas. Bahkan aku masih bisa
menceritakannya dengan detail, membuktikan bagaimana kehilangannya adalah suatu
kesakitan yang luar biasa untukku.
Sekitar
dua jam setelah kami selesai beristirahat dan registrasi, dengan cuaca yang
masih gerimis dan berkabut, Rio memutuskan untuk melakukan tracking. Sebelum
itu, kami berdua melakukan doa berharap segalanya baik-baik saja di perjalanan.
Setelah beberapa jam melewati hutan yang gelap kami sampai di Pos II, di sana
sedikit ramai, mungkin terdapat sekitar 25 orang yang berteduh di bawah gubuk,
semakin tinggi suhunya semakin dingin. Karena tidak kebagian tempat berteduh
dan hujan mulai deras. Setelah memakai jas hujan masing-masing, kami memutuskan
untuk terus jalan sampai pasar bubrah. Beruntungnya di tengah perjalanan, hujan
akhirnya mereda dan langit yang sejak sore mendung sekarang menghilang entah
kemana dan di gantikan oleh gugusan bintang yang begitu banyak dan indah. Rio
mengajakku berhenti, membiarkanku terkagum-kagum melihat ribuan bintang
bertebaran di langit dan lampu-lampu kota yang menjadi perpaduan yang sangat
indah. Di tengah obrolan yang cukup panjang dan seru, tiba-tiba Rio terdiam.
Aku bingung melihat perubahan wajah Rio yang begitu tiba-tiba.
“Din,
liat kebawah.” Ucapnya tanpa mengalihkan pandangannya dari lampu-lampu kota
yang begitu indah
“Udah
kok dari tadi, bagus ya?” jawabku sambil tersenyum
“Bukan,
bukan itu. Kamu ngga liat?”
“Liat
apa?”
“Lampunya,
lampunya ngebentuk huruf. Huruf I lambang hati sama huruf U. Kamu bisa liat kan
din?” Jelasnya dengan mata berbinar memandangku.
Aku
terdiam serius memperhatikan “Eh iya, kok itu bisa gitu. Kalo di baca berarti I
love you ya. Eh, kobisa?” aku terkejut dengan apa yang kukatakan sendiri. Aku
dan Rio saling berpandangan, terdiam, sibuk dalam pikirannya masing-masing. Dan
kejadian barusan, adalah salah satu kenangan yang begitu dalam masuk di ingatan
pikiranku, entah bagaimana caranya aku bisa lupa.
Cukup
puas menghabiskan lelah dengan duduk di atas sebuah batu dan menikmati bintang
gumintang, lampu-lampu kota dan malam dari atas, laju angin juga perlahan-lahan
bertiup kencang. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan sebelum
kedinginan, beberapa menit berjalan kami sampai di pasar bubrah. Tepat ketika
kami sampai, kabut tiba-tiba datang dan serta merta membuat kami tidak bisa
melihat ada berapa tenda yang sudah terpasang. Takut hujan, kami bergegas
membuat tenda untuk rebahan. Aku langsung meluruskan punggung yang terasa pegal
karena terus-terusan membungkuk membawa beban ketika berjalan di jalan yang
cukup miring. Rio lalu membuka peralatan masak dan membuat mie instant rebus.
Aku hanya meliriknya, aku tidak lapar. Setelah selesai, Rio masuk ke tenda dan
rebahan di sebelahku. Aku lelah sekali, tapi ia sepertinya tidak, atau hanya
berpura-pura agar tak terlihat kelelahan di depanku.
“Tidur,
biar besok bisa liat sunrise.”
“Nyanyiin
ya?” candaku tanpa berniat serius
“Nyanyi
apa?”
“Lagunya
Payung Teduh-Untuk perempuan yang sedang dalam pelukan. Biasanya kalo aku mau
tidur, aku dengerin voicenotemu yang lagu ini terus aku langsung tidur.”
Jawabku
Posisi
tidur kami berhadapan, aku menutup mata ketika Rio mulai menyanyikan lagu yang
kuminta barusan. Tanpa terasa, aku langsung tertidur. Entah karena kelelahan,
atau memang suaranya yang begitu merdu. Mungkin, karena keduanya. Aku begitu
menikmatinya, sungguh. Aku ingin mengulangnya, seandainya aku bisa.
Ketika
pagi, aku terbangun oleh suara orang yang begitu berisik. Ternyata, matahari
sudah mulai beranjak naik. Aku membangunkan Rio, mengajaknya keluar tenda untuk
melihat sunrise yang kulihat untuk pertama kalinya dari atas gunung dan bersama
seseorang yang begitu berarti untukku, bahkan hingga hari ini. Warna yang
melatarbelakangi matahari begitu cantik, sampai membuatku tertegun cukup lama.
Setelah matahari mulai meninggi, Rio mengajakku untuk naik ke puncak. Jalannya
terlihat seperti sesuatu yang mudah, namun ternyata butuh kesabaran untuk
menaikinya. “Disini emang gitu, Din. Naik satu lamgkah, turun lagi dua langkah.
Gapapa, kamu pasti bisa kok.” Ditengah perjalanan, aku memutuskan untuk
berhenti. “Capek Rio, istirahat dulu ya.” Ketika aku duduk, tampak sebuah
gunung menjulang di depanku, akupun berdecak kagum. “Wah, keren banget. Itu
gunung apa?” tanyaku pada Rio. “Namanya gunung Merbabu Din, besok habis dari
sini aku pasti bakal temenin kamu kesana kalo kamu mau.” “Maulah, asal sama
kamu. Janji ya?” “Iya, janji.” Akupun tersenyum.
Setelah
kembali lagi ke tenda, matahari sudah cukup tinggi dan jumlah tenda sudah
semakin sedikit. Setelah beristirahat dan berkemas, kami memutuskan untuk turun
ke basecamp. Setelah melapor pada pengurus bahwa kami sudah turun, kami
memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja. Karena dari pagi belum
makan, kami memutuskan untuk berhenti di sebuah tempat makan sebelum
melanjutkan perjalanan. Ketika cuaca sedikit mendung dan sudah mulai sore, kami
sampai di Jogja dengan selamat.
Sudah
dua hari, kami tak bisa di hubungi oleh siapapun. Ketika Rio mengaktifkan
handphonenya, langsung terdengar sebuah panggilan masuk. Rio mengangkat telefon
dengan sedikit menjauhiku. Aku tidak tau apa yang terjadi, sampai akhirnya
waktu itu tiba.
Keesokannya,
Rio mengatakan bahwa ia akan pulang kerumah karena adiknya sedang sakit keras
di Bandung. Dua hari setelah ia pulang, Rio sering mengirimiku sebuah pesan, sampai
suatu waktu aku pernah memarahinya karena aku merasa ia ingin meninggalkanku.
Karena Rio yang terus membuatku jengkel, akhirnya aku memutuskan untuk merajuk
dengan cara menonaktifkan handphone. Pada tengah malam, karena gelisah, aku
memutuskan untuk mengaktifkan handphoneku. Banyak sekali pesan yang di kirimkan
Rio untukku, dan pesan yang terakhir dia kirim adalah sekitar setengah jam lalu
dan berisi. “Din, doakan aku. Aku menyayangimu, selalu.”
Aku
terpaku beberapa menit memandangi isi dari pesan yang dikirimkan Rio terakhir
kali. Aku mencoba menghubunginya, tapi nomornya tidak aktif, Aku kirim pesan
berulang-ulang tapi tak ada jawaban. Aku semakin gelisah, banyak sekali
pertanyaan yang muncul di pikiranku. Aku membaca pesan Rio berulang-ulang,
mencoba memahami apa yang hendak ia katakana padaku dari pesan yang ia kirim
terakhir kali. Yang ternyata, menjadi pesan terakhir darinya untuk selamanya.
Seminggu
berlalu, tak pernah ada kabar dari Rio sedikitpun. Aku mencoba mencari tahu
lewat teman, sahabat juga orang-orang terdekatnya, tapi tak ada satupun yang
mengetahui dimana keberadaan Rio. Sampai suatu sore, ada seseorang yang
mengetuk pintu rumahku.
“Benar
ini rumah Dinda Gumintang?” Tanya perempuan tua itu.
“Benar,
saya sendiri, ada apa ya?”
Matanya
mulai berkaca-kaca, aku merasakan canggung. Perempuan tua itu tiba-tiba
menyodorkan sebuah amplop yang berisi sebuah surat kepadaku, lalu memelukku.
Aku terdiam, dan bingung. Dengan sopan aku melepaskan pelukannya dan membawanya
keruang tamu.
“Silakan
duduk dulu bu.” Sambil menyodorkan sekotak tisu
“Saya
ibunda Rio. Rio Pratama.” Aku terkejut. “Kamu bisa baca surat itu, itu titipan
dari Rio. Sebelumnya ibu pamit dulu, suami dan anak ibu menunggu di depan.
Terimakasih ya. Dinda.”
“Oh,
eh iya bu. Terimakasih ya Bu. Hati-hati.”
Aku
lalu berlari ke kamar, sedikit demi sedikit ku buka surat yang perempuan tadi
berikan dengan sedikit takut. Dan aku luruh, aku benar-benar jatuh. Bagaimana
ini bisa terjadi, atau mungkin ini hanya mimpi, aku mencubit tanganku sendiri
dengan keras agar bisa membangunkanku dari mimpi buruk ini. Cubitanku rasanya
sakit, tapi terasa jauh menyakitkan dari luka yang menganga di hatiku. Aku sulit
menerima kenyataan, aku tidak bisa. Aku menangis sejadi-jadinya di kamar,
sampai Ayah dan Ibu mendengarnya dan masuk kamarku dengan terburu-buru. Ibu
memelukku, menanyakan apa yang terjadi. Tapi aku tak bisa menjawabnya, aku
hanya bisa menangis, menangis dan terus menangis. Sampai kelelahan di pelukan
ibu, dan tertidur. Aku bangun keesokan
harinya, dengan kantung mata yang tergaris hitam di bawah mataku. Aku masih
menangis, berhari-hari yang bisa kulakukan hanya menangis. Aku tidak lapar dan
tidak ingin makan. Seminggu ini aku hanya minum, dan membuat berat badanku
turun dan daya tahan tubuh yang ambruk. Ayah dan Ibu membawaku ke rumah sakit.
Setelah tiga minggu berlalu, aku tidak berani membuka surat itu lagi. Aku
sekuat tenaga berpura-pura bahwa segalanya baik-baik saja. Sampai akhirnya, aku
menyerah. Aku lelah berupaya bahwa segalanya baik-baik saja. Aku menyerah
dengan kelelahan ini. aku tidak bisa lagi menahan betapa aku merindukan
hari-hari di mana ia selalu ada di sampingku. Separuh duniaku pergi, bagaimana
bisa aku baik-baik saja. Dengan sekuat tenaga, kubuka lagi surat itu. Di sana
dengan jelas tertuliskan kenyataan yang
sulit sekali aku terima meski aku berusaha, bahwa Rio tak bisa lagi, dia tak
bisa selalu ada di sampingku lagi.
Dear. Dinda Gumintang
Kekasihku
yang tiada duanya.
Ketika
kamu membuka surat ini, maafkan aku yang tak bisa lagi berada di sampingmu.
Menemanimu makan sate taichan kesukaanmu, pergi menonton, atau sekedar
menemanimu lewat telefon sampai kamu tertidur karena insomnia. Maafkan aku yang
tak bisa lagi menghibur ketika kamu sedang sedih atau sedang mengalami hari
yang buruk. Maafkan aku yang tak bisa lagi mencubit pipimu yang menggemaskan
sampai membuatmu marah. Maafin aku, Din. Terimakasih sudah menemaniku dari
waktu yang cukup lama. Bersamamu adalah salah satu waktu terbaik di hidupku.
Menggenggam erat tanganmu ketika ketakutan adalah sesuatu yang membuatku
memahami bahwa kau membutuhkanku, dan akupun sebaliknya. Tentang
kenangan-kenangan yang sudah kita ciptakan bersama, sudah kukirimkan di
emailmu. Semoga itu bisa membuatmu sedikit terhibur, ketika aku tak lagi bisa.
Pesan-pesan yang kukirimkan padamu beberapa hari kemarin, adalah bukti bahwa
aku begitu mengkhawatirkanmu melebihi diriku sendiri. Jagalah dirimu sebaik mungkin,
kau harus menjadi perempuan yang kuat. Sebab aku tak lagi ada untuk
melindungimu. Din, maafin aku yang pergi tanpa pamit. Masih inget percakapan
waktu di merapi beberapa hari yang lalu? Kalo kamu kangen aku, liat aja bintang
di langit. Nanti aku ada di sana, ngeliatin kamu. Kamu bisa cerita apapun, aku
pasti dengerin. Maaf ya Din, aku gabisa nepatin janji aku buat nganterin kamu
ke Gunung Merbabu, meskipun aku sangat ingin, kamu pasti paham. Kamu jangan
pernah ngerasa sendiri, aku selalu ada di hati kamu. Di pikiran kamu, di
sekelilingmu meskipun kamu gabisa ngerasain. Berbahagialah Din, jangan jadi
cengeng lagi ya, aku bakal marah besar sama diri aku sendiri karena udah bikin
kamu nangis dan gabisa apa-apa. Bahagia ya, Din. Aku menyayangimu. Selalu.
Tertanda,
Rio
Pratama
Pacarmu
yang paling ganteng sedunia.
Aku menangis lagi, sekuat tenaga aku
menahannya dan aku akhirnya menyerah. Aku benar-benar terpuruk.
Sebulan setelahnya, ada sebuah nomor
yang menghubungiku. Ternyata, ia adalah ibunda Rio. Beliau menceritakan semua
perihal Rio yang sama sekali tidak aku mengerti. Adiknya mengalami gagal
ginjal, Rio bermaksud memberikan satu ginjalnya untuk membantu adiknya. Tapi,
ia mengalami reaksi alergi pada saat operasi. Sebelum itu, dokter sudah
mengatakan bahwa operasi ini merupakan operasi yang berbahaya, karena ketika di
lakukan cek lab, Rio mengalami alergi operasi. Tetapi Rio tetap ingin melakukan
operasi untuk menyelamatkan adiknya. Dan ternyata, ketika operasi benar-benar
di lakukan, reaksi alergi Rio benar-benar terjadi dan tubuh Rio mengalami
penolakan. Dan akhirnya, dan akhirnya.. aku benar-benar tidak bisa menceritakan
bagian ini.
Akhirnya, rahasia yang Rio simpan
rapat-rapat dan membuatku tidak mengerti terkuak sudah. Dan aku, justru semakin
mencintainya. Aku tidak pernah menyesal telah menghabiskan waktu bersamanya
dengan cukup lama, dan aku mensyukuri setiap detik yang kuhabiskan bersamanya.
Kubuka lagi pesan-pesan Rio, sampai
pada pesan terakhir yang ia kirimkan padaku malam itu. Dan kali ini, aku tak
lagi membacanya dengan bingung ataupun menangis. Aku begitu bahagia, pernah
menjadi bagian dari hidupnya.
“Terimakasih untuk segalanya, Rio.
Seluruh bagian dari waktu yang tercipta adalah anugerah yang selalu kusyukuri.
Aku menyayangimu, selalu.”