Bercerita Pada Langit (Part 2)
Aku
masih sibuk merapikan buku-buku yang berserakan di meja belajar, hari ini Rinda
bilang ada kuis di mata kuliah pagi. Aku sedikit gugup, sebab semalam bukannya
belajar aku justru ketiduran. Masih kurang setengah jam sebelum perkuliahan di
mulai, dan jarak dari rumahku ke kampus hanya sekitar lima belas menit, aku
menyempatkan sarapan pagi bersama Ayah dan Ibu yang hendak berangkat ke kantor.
Ketika sarapan dan obrolan-obrolan kecil selesai, aku teringat bahwa handphoneku
tertinggal di kamar, dengan sedikit berlari aku kembali ke dalam kamar. Ketika
hendak memasukkan handphone ke dalam tas, tanda sebuah pesan baru berbunyi.
Dari orang misterius lagi, batinku. Sudah sekitar 5 bulan, tapi tidak ada
tanda-tanda bahwa ia ingin mengaku. Karena terbawa suasana membalas pesannya,
lima belas menit telah berlalu. “Buset, kurang limabelas menit nih.” Teriakku
panic. Aku langsung berlari ke arah
garasi, sedangkan Ayah dan Ibu sudah berangkat ke kantor sejak tadi. Karena
gugup, aku melajukan motor dengan sedikit ngebut, dan ketika berada di
perempatan terakhir dekat kampus, aku merasakan sesuatu yang melayang, lalu
segalanya gelap dan ketika membuka mata, yang kulihat hanyalah lampu dalam
ruangan berwarna putih. Aku kecelakaan, kata Ibuku.
Hari sudah sore, aku pasti tertidur
lama. Ada Ayah dan Ibu sedang duduk di Sofa dengan wajah khawatir.
“Dinda?”
“Ibu?”
“Masih pusing?”
“Dikit”
“Untung aja ada orang yang nolongin
kamu tadi pagi, dan langsung ngehubungi Ibu kalo kamu kecelakaan. Ayah baru aja
sampe barusan, Ayah khawatir sekali.” Ku lirik Ayah yang juga sedang
memandangku, terlihat benar bagaimana rautnya menggambarkan sendu.
Tak ada yang bisa kuingat dari
kejadian tadi pagi, yang ku tahu hanyalah aku yang sedang naik motor menuju kampus,
dan tiba-tiba segalanya gelap. Ngomong-ngomong, Aku tidak suka berada di rumah
sakit, bau obat begitu menyengat. Apalagi jika melihat orang-orang yang
menangis karena di tinggalkan orang yang di cintainya. Aku tidak suka, sangat
tidak suka.
Esok paginya seorang suster datang
menghampiriku, mengecek infus apakah berjalan lancar atau tidak. Susternya
ramah, juga cantik. Tapi, hal yang aku tidak suka dari rumah sakit berikutnya
adalah menu makanannya. Karena hanya berisi bubur putih, sop ayam dengan lauk
tempe tahu atau telor, dan menjadi menu sepanjang hari baik pagi, sore maupun
malam hari. Rasanya sama sekali tidak enak dan aku tidak suka. Setelah makan
dengan terpaksa rutinitas selanjutnya adalah minum obat. Setelah itu, karena
mengandung obat tidur, akupun tertidur dengan pulas.
Aku bangun ketika hari sudah siang, tak
ada siapa-siapa di kamar, mungkin Ayah dan Ibu sudah pergi bekerja, tak apa,
aku sudah terbiasa hidup di rumah sendirian, tak ada bedanya meski ini di rumah
sakit. Dan tanpa sengaja, aku melihat sebuah bunga di meja samping tempat
tidurku. Tak ada nama pengirim, hanya ada sebuah kartu ucapan yang berisi
“Semoga lekas sembuh, Dinda.” Dahiku berkerut.
Karena sedikit canggung, ku kirimkan
pesan pada Rinda untuk menjengukku di Rumah Sakit setelah ia selesai kuliah.
Rinda bercerita bagaimana sepinya kelas karena aku tak berangkat, ia
mengomeliku karena aku kecelakaan melebihi ibuku sendiri, aku hanya tertawa
melihat raut mukanya yang merah karena marah tapi justru terlihat lucu. “Yee,
di bilangin beneran malah ketawa.” Rajuk Rinda
“Iya aku denger kok Sayang, udah deh
jangan khawatir gitu, aku ngga papa kok.”
“Ah elah, geli banget denger
panggilan sayang begitu.”
“Hahaha. Iya Rinda sayang iya.”
“Eh ini orang!” liriknya padaku
Rinda menemaniku hingga Ayah dan Ibu
selesai bekerja. Karena waktu sudah mulai gelap, Rinda memutuskan untuk pulang
dan berpamitan. “Thanks ya Rin.” Rinda hanya membalas ucapanku dengan
mengibaskan tangan dan berkata. “Dadah” dan berlalu. Memang benar-benar
sahabat, pikirku.
Malam ini aku tak bisa tidur lagi
karena insomnia. Andai Rio masih ada, pasti dia akan menyanyikan lagu untukku,
atau mungkin menemaniku ketika aku di rumah sakit seperti ini. Rindu, lagi-lagi
datang menghampiriku, tak ada yang bisa kulakukan selain menerima. Melupakan
memang bukan perkara gampang, apalagi bagi seseorang yang memang sudah membatu
di dalam pikiran.
Keesokan harinya, tentu saja setelah
melewati segala rutinitas di Rumah Sakit, kulihat lagi sebuah bunga yang
tergeletak di meja samping tempat tidurku. Kulihat, ibu sedang sibuk menonton
televisi dan tidak memakai seragam kantornya. Kutanya, “Ibu ngga ke kantor?”
“Engga, pengen nemenin kamu aja
disini.”
“Oiya bu, siapa yang ngasih bunga
ini?”
“Oh bunga itu, dari temen kamu, yang
nganterin kamu kerumah sakit, yang telefon Ibu waktu kamu belum sadar juga.”
“Temen?”
dahiku berkerut, berusaha mengingat-ingat.
“Iya, katanya dia temen kamu.”
“Namanya siapa bu?”
“Oiya, ibu lupa nanya. Tadi dia
lumayan lama ngobrol di depan sama Ibu.”
“Ngobrol sama Ibu?” tanyaku kaget
“Iya”
“Kok
ngobrolnya di depan?”
“Iya, katanya, takut ganguin kamu
yang lagi tidur.”
Mendengar penjelasan ibunya, rasa
penasaran Dinda justru semakin memuncak. Sebenarnya siapa laki-laki misterius
yang sudah dua hari mengiriminya bunga. Keesokan harinya, Dinda sengaja tidak
meminum obatnya agar tidak tertidur. Rencananya, hari ini ia akan berpura-pura
tertidur, agar nantinya bisa memergoki laki-laki yang sudah memberinya bunga,
mengantarnya kerumah sakit, juga yang sering mengiriminya pesan beberapa bulan
terakhir ini.
Hari yang di tunggu akhirnya datang,
Dinda sudah siap melaksanakan aksinya. Setiap pintu kamar terbuka, Dinda
langsung menutup matanya. Tapi ternyata, laki-laki yang ditunggu tak juga datang
mengunjunginya, juga tak ada sebuah bunga yang tergeletak di meja dekat kamar
tidurnya seperti dua hari kemarin.
Di hari ke-empat, akhirnya dokter
mengatakan bahwa Dinda sudah di ijinkan pulang. Ayah sibuk menyelesaikan
administrasi di depan sedangkan Ibu sibuk berkemas di kamar. Setelah selesai, Dinda
dan keluarga pergi meninggalkan Rumah Sakit. Ketika sampai di depan rumah dan pintu
mobil terbuka rasanya seperti hidup kembali. “Akhirnya, bisa bebas juga.” Seru
Dinda sambil mengangkat tangannya ke udara. Rasanya melegakan sekali. Ketika
hendak masuk ke rumah, Dinda melihat sebuah bunga tergeletak di meja depan.
Bunga, lagi?
“Bibi.” Panggil Dinda sedikit keras
“Kenapa mba?”
“Bunganya buat siapa?”
“Buat mba Dinda lah.” Jawab Bibi
sambil senyum-senyum. “Kan itu ada namanya.”
“Ih Bibi, kok senyum-senyum gitu?”
“Habis, romantic sih mba. Hehe.”
“Idih Bibi, masih tau kata romantic
aja.” ledekku
“Yo jelas to mba, ngene-ngene ki
Bibi mesih gaul hehe.”
“Ah iya deh Bi serah. Oiya, yang
ngasih bunga siapa Bi?”
“Ya pacarnya mba Dinda to, masa
pacar Bibi.”
Pacar? Sejak kapan aku punya pacar?
Karena masih capek dan terasa percuma menanyakannya pada Bibi, aku langsung
menuju ke kamar dan menjatuhkan tubuhku ke dalam kasur. “Aw.” Aku merasakan
sakit di kaki sebelah kanan, ternyata aku lupa bahwa di kakiku masih ada
sedikit luka. Sambil tiduran ku lirik lagi bunganya, pasti dari laki-laki
misterius itu lagi.
Setelah itu, ku buka beberapa pesan
yang masuk dihandphoneku, ternyata ada sebuah pesan dari laki-laki misterius
itu, dan kubuka:
“Selamat Dinda, sudah boleh pulang.”
Ku tatap layar itu sedikit lama, sampai panggilan Ibu membuyarkanku.
“Dinda, makan malem dulu.”
“Iya bu, bentar.” Aku berjalan
keruang makan, disana Ayah dan Ibu sudah menunggu.
“Wah, enaknya. Ada acara apa nih?
Tanyaku pada Ibu
“Acara penyambutan putri kesayangan Ayah
pulang kerumah, dong.” Jawab Ayah, membuat mukaku sedikit merah.
“Aduh duh duh, terimakasih Ayah dan
Ibu.” Jawabku sambil memeluk mereka satu persatu.
Aku makan dengan lahap, bagaimana
tidak. Selama tiga hari, aku hanya boleh makan bubur yang tak ada rasanya
seperti itu. Hambar. Aku sempat menggerutu kepada dokter di Rumah Sakit. “Yang
sakit kan bagian luarnya aja, dok. Kenapa harus makan bubur juga?” keluhku.
Tapi dokter itu hanya tersenyum. Setelah selesai makan, tiba-tiba Ayah
menanyakan sesuatu yang bahkan tak pernah kupikirkan.
“Yang ngirim bunga buat kamu siapa,
Din?” tanya Ayah
“Bukan siapa-siapa kok, Yah.”
Jawabku cuek
“Pacar kamu?” Aku tersedak,
pertanyaan itu entah mengapa seperti petir yang menyambar di siang bolong.
“Minum nih minum dulu.” Kata Ayah
sambil menyodorkan segelas air putih.
“Nggapapa kok, Ayah ngga ngelarang,
Ayah Cuma pengen tau aja, Dinda.” Tambah Ibu
“Bukan kok, Yah. Dinda juga gatau
siapa yang ngirim bunga buat Dinda.”
“Tapi, Ayah kemaren juga liat lho
bunga yang di meja dekat tempat tidur kamu waktu di rumah sakit.”
“Beneran Yah, itu bukan pacar
Dinda.” Jawabku sedikit kesal
“Bukan pacar kok sampe ngasih bunga
segala?” imbuh Ayah
“Tapi kayaknya, anaknya baik kok.
Kemaren sempet ngobrol sama Ibu, Yah.” Tambah Ibu.
“Yaudah gapapa, Ayah ngga bermaksud
ngelarang kamu Dinda. Ayah juga seneng kamu udah punya pacar baru, biar kamu
ngga kepikiran sama Rio terus.”
Deg! Lama sekali aku tidak mendengar
namanya di ucapkan orang lain selain diriku sendiri. Ayah dan Ibu melihat
perubahan raut di wajahku. Ibu langsung melirik Ayah, memintanya untuk meminta
maaf hanya dengan sebuah mimic.
“Bukan begitu, maksud Ayah...”
“Dinda nggapapa kok, Dinda masuk kamar
dulu ya Yah, Bu.” Ucapku seraya bangkit dari duduk.
Aku beranjak dari meja makan, ku
dengar sayup-sayup Ibu mengomeli Ayah yang membuatku mengingat mantan
kekasihku, Rio. Tak apa Ibu, Aku sudah
mulai baik-baik saja, meskipun belum sepenuhnya, batinku. Sampai di kamar, aku
melihat sekeliling, menyapu bersih kamar yang beberapa hari ku tinggal pergi.
Ternyata masih begitu banyak barang yang mengingatkanku pada Rio. Kuambil
sebuah boneka yang di berikan Rio padaku, kupencet bagian tengah pada boneka
panda itu. Terdengar sebuah bunyi “Selamat malam Dinda, tidur yang nyenyak ya.
Love you.” Aku teringat lagi, waktu itu, ketika Rio memberikan boneka itu
padaku. Malam itu, Rio mengajakku pergi ke acara Sekaten di Alun-Alun Utara
sebagai peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Acara Sekaten merupakan sebuah
tradisi yang sangat di tunggu-tunggu masyarakat Jogjakarta, bahkan tak heran
banyak wisatawan dalam negeri dan luar negeri yang sengaja datang dari jauh
hanya untuk mengikuti acara sekaten ini. Pedagang yang membuka lapak di acara
sekaten ini juga tidak hanya berasal dari Jogjakarta, banyak juga yang berasal
dari luar Jogjakarta, seperti Jawa Tengah maupun Jawa Barat.
Disana, Rio mengajakku menaiki
berbagai wahana. Seperti Bianglala dan Ombak Banyu kesukaanku. Membeli aromanis
yang bisa membuat lidah berubah menjadi merah jambu, atau membeli makanan khas
jogja yang biasanya sulit di temui. Ketika melewati lapak orang yang menjual
boneka, Rio memintaku berhenti.
“Bentar Din, kamu tunggu sini. Aku
mau beli sesuatu. Jangan kemana-mana.” Ucapnay seraya berlari
“Oke boss.” Jawabku sambil berpose
hormat
10 menit kemudian, Rio kembali
membawa sebuah boneka panda yang lucu.
“Nih buat kamu.”
“Waaah lucu banget.” Responku sambil
memeluknya
“Eh jangan!.” Ucap Rio mengagetkanku
“Jangan di peluk dulu bonekanya.” Potong Rio serius
“Emang kenapa?” tanyaku polos
“Kan masih ada aku, sini peluk dulu
hehehe.”
“Dih paan si.” Kupukul dada Rio
dengan boneka yang ku pegang, lalu berlari menjauhinya.
“Eh awas ya Din.” Ucapnya mencoba
mengejarku
Bisa kau bayangkan, bagaimana
bahagianya aku memiliki seseorang seperti itu. Terlihat sungguh sederhana, tapi
ia selalu bisa membuatku luluh. Satu-satunya seseorang yang bisa membuatku
jatuh cinta berulang-ulang pada satu orang yang sama adalah Rio. Rio Pratama,
pacarku yang teramat kusayangi.
Benar, ketika sudah tak ada lagi,
kenangan yang paling membahagiakan justru akan menjadi kenangan yang paling
menyakitkan. Karena kenangan itu hanya bisa kuingat, tanpa bisa ku ulangi lagi.
Seandainya Tuhan memberikan waktu yang lebih lama padaku, seandainya saja ia
masih disini, seandainya saja aku masih bisa mengulang kenangan-kenangan yang
sudah berlalu. Seandainya saja, ya, seandainya saja…
Kupencet lagi tombol itu, masih
terdengar suaranya di sana. Kupeluk erat boneka Panda itu di tengah lengan
kanan dan kiriku. Aku tak ingin melepaskannya, aku takut ia juga
meninggalkanku. Aku takut sendirian, aku tak ingin ia juga pergi. Kupeluk erat
boneka itu sampai ketiduran. Kurasakan Rio berada di sampingku, tersenyum.
Terbangun di tengah malam, lagi-lagi
aku terbangun. Karna tak bisa tidur lagi, kubuka handphone dan kulihat ada
sebuah satu pesan di sana, dari laki-laki misterius itu lagi. Belum sempat
kubalas, aku justru membuka tirai dan jendela di kamar. Ku pandangi langit,
berharap Rio benar ada di sana melihatku. Aku ingin bercerita banyak, mengenai
laki-laki misterius itu, dari ia yang selalu mengirimiku pesan singkat, tentang
ia yang menolongku ketika kecelakaan dan membawaku kerumah sakit, juga tentang beberapa
bunga yang ia kirimkan padaku diam-diam ketika aku di Rumah Sakit. Ku ceritakan
semuanya pada Rio, tapi tak ada respon apapun darinya. Aku terdiam, hampir
menangis. Aku benar-benar merindukan Rio yang selalu di sebelahku, mendengarkan
aku bercerita, mendengarkan keluh kesahku, merengkuh tubuhku yang seringkali
merasa rapuh. Rio yang selalu ada, Rio yang selalu mengerti. Aku merindukannya,
aku benar-benar merindukannya.
“Rio, aku butuh kamu. Aku butuh kamu
disini. Kamu dimana?” Tanyaku pada bintang di atas sana, tapi tak ada yang
bersuara. Perlahan, ku rasakan hangat di pipiku.
“Rio,
Dinda rindu.” Bisikku dalam isak.
0 komentar