Temu (Part 5)

by - 02.25

Ketika bangun, kamarku sudah kosong. Aku turun kebawah, di meja makan sudah ramai. Senang sekali rasanya mendapati suasana seriang ini.

            “Jam segini baru bangun. Tuh air liur di bersihin dulu coba” sambut mas gara padaku dan membuat semua orang di meja makan otomaris memandangku dan menertawaiku. Aku lari sekuat tenaga menuju kamar mandi dan berkaca. Aish, sialan.
            Hari sudah beranjak siang, perlahan-lahan teman-teman mulai meninggalkan rumah. Rumah terasa sepi karena hanya tersisa aku, Mas gara, Ibu dan Bibi. Hari ini aku tidak memiliki acara kemanapun kecuali bertemu dengan laki-laki misterius nanti sore, sepertinya waktu berjalan lambat sekali. Setelah pukul dua siang, aku mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke caffe yang ia tuliskan di memo dalam kado yang di kirimkan semalam.
            “Bu, Dinda pergi dulu ya.”
            “Mau kemana?”
            “Ketemu temen.”
            “Temen apa temen?” sahut Mas Gara
            “Temen kok bu.”
            “Nggak temen juga gapapa, kan udah gede. Ciyeeee.” Mas Gara dan Ibu tertawa
            “Apaansi orang temen beneran.Yaudah dinda berangkat ya. Daaah.”
            Aku tidak sengaja datang lebih awal karena kupikir jalanan akan macet. Aku sampai di caffee shop ini bahkan sebelum jam tiga, meskipun hanya kurang beberapa menit. Jantungku terasa berdegup kencang, aku penasaran setengah mati dengan laki-laki yang sudah beberapa bulan ini terus mengirimiku pesan. Aku sedikit takut karena tidak terbiasa bertemu dengan seseorang yang tidak jelas seperti ini sendirian. Aku sedang sibuk bermain handphone ketika seseorang menyapaku.
            “Din.”
            “Ya?” aku mendongak
            “Boleh duduk di sini?”
            Aku speechless.
            “Din, boleh duduk di sini?” tanyanya dengan sedikit bingung
            “Eh iya boleh boleh boleh silakan.”
            Kami terdiam.
            “Apa kabar din?”
            Aku bengong lagi. “Din?”
            “Eh?”
            “Apa kabar, kamu.” Ulangnya sambil menunjuk diriku
            “Kabar? Aku?”
            “Iya, gimana kabar kamu?”
            “Ohiya baik.”
            “Syukurlah. Oiya kenalin, Ditya.” Sambil menjulurkan tangan, kami bersalaman.
“Dinda.” Jawabku.
            “Pernah liat aku?”
            “Ngga yakin, kita pernah ketemu?” jawabku masih bingung
            “Sering, di sini.”
            “Oiya? Kok aku gapernah ngeh?”
            “Kamu biasanya asik sendiri sama temen kamu, kalo ngga sama handphone, kalo ngga sama buku.”
            “Sepaham itu? Kamu kenal aku?”
            “Awalnya sih enggak”
            “Terus?”
            “Kamu adiknya Gara kan?”
            “Mas Gara? Ko tau?”
            “Aku temennya waktu SMA”
            “Ooh temennya Mas Gara.”
            Setelah itu kami mengobrol banyak hal. Ternyata namanya adalah Ditya dan ia adalah teman sekolah Mas Gara waktu SMA. Ditya juga pengunjung tetap di coffee shop ini sama sepertiku, satu kampus denganku dan ternyata memiliki hobi yang sama denganku: membaca buku, dan juga memiliki kesenangan yang sama yaitu melihat sunset dan sunrise. Di pikir-pikir, banyak sekali kesamaan antara aku dan Ditya. Kami mengobrol sampai sore, padahal rasanya kami baru bertemu dan belum mengenal satu sama lain, tapi lebih tepatnya aku yang belum, dia sudah. Ditya banyak bercerita mengenai aku sampai membuatku terkejut sendiri.
            “Aku kadang baca tulisan kamu. Bagus.”
            “Oiya?”
            “Iya, kayaknya semuanya udah aku baca.”
            “Wah, terimakasih.”
            “Aku juga suka denger puisi yang kamu bacain di soundcloud?”
            Aku tersedak ketika mendengar Ditya mengatakan kalimat itu.
            “Pelan-pelan Din minumnya.”
            “Ko bisa? Padahal kan aku jarang ngeshare akun soundcloud itu.”
            “Aku suka main soundcloud juga, kamu juga follow aku.”
            “Aku follow kamu?”
            “Iya.”
            “Perasaan gada yang namanya Ditya?” tanyaku
            “Emang, aku pake nama samaran.”
            “Oh, pantesan.”
            “Yaampun aku ngga nyangka dunia sesempit ini.” Begitulah tanggapanku ketika Ditya bercerita mengenai aku yang terkadang mengomentari rekaman suara dari Ditya di Soundcloud, pun dia sebaliknya. Aku merasa seperti semuanya memang sengaja di buat seperti itu.
            “Din, nyunset yuk?”
            “Dimana? Udah jam segini.”
            “Semoga aja masih dapet, yuk sekarang makannya.” Ditya bangun dari duduk, dan aku mengikutinya.
            “Pake motorku aja.”
            “Motorku?”
            “Tinggal sini aja.”
            “Oke bentar.” Aku masuk lagi ke dalam caffee. “Do, nitip motor ya bentar.”
            “Mau kemana lo?” tanya bartender caffee itu
            “Bentar. Makasih Do. Dah.”
            “Yuk cabut.” Ajakku pada Ditya.
            Aku malu sebenarnya membuka percakapan terlebih dahulu, gengsi lebih tepatnya, tapi aku juga penasaran kita mau kemana. Akhirnya ku beranikan diri.”Mau kemana kita, Dit?”
            “Ntar juga kamu tau.”
            “Wah langitnya bagus banget, pasti sunsetnya keren.” Komentarku ketika di perjalanan melihat ke arah barat. “Ayo Dit buruan, nanti kita ga kebagian sunsetnya.”
            “Iya sabar.”
            “Sampai.”
            “Gumuk pasir?”
            “Yap.”
            “Aku baru pernah kesini.”
            “Pantesan.”
            “Pantesan kenapa?”
            “Gapapa, yuk cepetan udah mulai gelap nih.”
            Aku sedikit berlari ke arah gundukan pasir di sana, tidak sabar melihat sunset yang tinggal sedikit. “Waw, baguuuuuus.”
            Ditya tersenyum. Aku kembali larut dengan matahari terbenam di sebelah sana.
            “Balik yuk, udah gelap.”
            “Yah, sayang banget kita cuma dapet bentaran.” Keluhku.
            “Kesorean soalnya tadi kita dari jogjanya. Gampang besok kan bisa kesini lagi.”
            “Besok?”
            “Ya maksudnya besok-besok.”
            Aku cemberut. “Iyadeh, yaudah yuk udah gelap serem juga disini.”
            “Yuk”
            Sampai di jogja pukul tujuh malam. Jalanan cukup sepi.
            “Din laper ngga?”
            “Lumayan.”
            “Makan yuk?”
            “Dimana?”
            “Rica-rica sambel cetar.”
            “Hah di mana?”
            “Deket malioboro. Di sana tuh enak. Ya meskipun kaki lima sih. Tapi masakannya bintang lima deh pokoknya.”
            “Ahelah kayak sales aja.” Jawabku, dan kami tertawa.
            “Etapi kamu doyan pedes kan?”
            “Suka kok malah.”
            “Okedeh cocok.”
            Meskipun kaki lima, tapi pembelinya lumayan banyak. Jadi kami harus mengantri dan baru selesai sekitar pukul sembilan malam. Ditya mengantarku ke coffee tadi sore untuk mengambil motorku, setelah itu dia mengantar pulang.
            “Mau masuk? Kebetulan Mas Gara lagi pulang dari Singapore.”
            “Kapan-kapan ajadeh udah malem. Aku langsung ya.”
            “Okedeh, makasih Dit.”
            “Sip.”
            Sampai di kamar aku masih senyum-senyum sendiri, rasanya senang sekali menghabiskan waktu dengan Ditya. Anaknya seru, ga ganteng sih tapi lumayan lah ngga malu-maluin kalo di bawa kekondangan, kataku dalam hati. Ketika hendak tidur, tiba-tiba handphoneku berbunyi, ada pesan masuk dari Ditya. Aku tersenyum.
            “Udah tidur Din?”
            “Belum.”
            “Makasih ya.”
            “Buat?”
            “Udah mau ketemu aku, udah mau aku ajakin jalan-jalan, udah mau aku ajakin makan.”
            “Sama-sama, Dit.”
            “Btw, kok kamu belum tidur?”
            “Ini aku mau tidur kok.”
            “Yaudah gih sana, udah malem juga Din.”
            “Oke.”
            “Goodnight, Din J
            Aku membacanya dalam keadaan masih senyum-senyum sendiri. Yaampun aku ini kenapa. Lalu setelah berdebat dengan diri sendiri untuk membalas pesannya atau tidak akhirnya ku putuskan. “Goodnight too, Dit J.” Setelah itu justru aku tidak bisa tidur, masih sibuk  merasakan euphoria ketika pergi bersamanya. Ditya yang ternyata takut katak, Ditya yang ternyata alergi udang. Ditya yang ternyata sering memperhatikanku diam-diam. Bibirku terus tersenyum. Aku baru bertemu dengannya tapi serasa seperti telah mengenalnya dengan baik. Aku terus memikirkannya sampai akhirnya jatuh tertidur entah pukul berapa.
            Perasaan memang tidak bisa di atur
            Tidak tahu jatuh di mana
            Tidak tahu jatuh di siapa
            Perasaan memang sesederhana itu.
            Juga perasaan bahagia
            Terimakasih, Dit J
            -D

You May Also Like

2 komentar

  1. Portal khilafah dan data Intelijen Negara http://transparan.org/

    BalasHapus
  2. Harrah's Casino and Racetrack - Mapyro
    Get directions, reviews and information for Harrah's Casino and 군포 출장마사지 Racetrack 안성 출장샵 in 당진 출장안마 Joliet, IL. Find directions, 여수 출장샵 reviews and information for Harrah's Casino and Racetrack 경주 출장샵 in

    BalasHapus

Pages