Temu (Part 5)
Ketika
bangun, kamarku sudah kosong. Aku turun kebawah, di meja makan sudah ramai.
Senang sekali rasanya mendapati suasana seriang ini.
“Jam segini baru bangun. Tuh air liur
di bersihin dulu coba” sambut mas gara padaku dan membuat semua orang di meja
makan otomaris memandangku dan menertawaiku. Aku lari sekuat tenaga menuju
kamar mandi dan berkaca. Aish, sialan.
Hari sudah beranjak siang,
perlahan-lahan teman-teman mulai meninggalkan rumah. Rumah terasa sepi karena
hanya tersisa aku, Mas gara, Ibu dan Bibi. Hari ini aku tidak memiliki acara
kemanapun kecuali bertemu dengan laki-laki misterius nanti sore, sepertinya
waktu berjalan lambat sekali. Setelah pukul dua siang, aku mandi dan
bersiap-siap untuk pergi ke caffe yang ia tuliskan di memo dalam kado yang di
kirimkan semalam.
“Bu, Dinda pergi dulu ya.”
“Mau kemana?”
“Ketemu temen.”
“Temen apa temen?” sahut Mas Gara
“Temen kok bu.”
“Nggak temen juga gapapa, kan udah
gede. Ciyeeee.” Mas Gara dan Ibu tertawa
“Apaansi orang temen beneran.Yaudah
dinda berangkat ya. Daaah.”
Aku tidak sengaja datang lebih awal
karena kupikir jalanan akan macet. Aku sampai di caffee shop ini bahkan sebelum
jam tiga, meskipun hanya kurang beberapa menit. Jantungku terasa berdegup
kencang, aku penasaran setengah mati dengan laki-laki yang sudah beberapa bulan
ini terus mengirimiku pesan. Aku sedikit takut karena tidak terbiasa bertemu
dengan seseorang yang tidak jelas seperti ini sendirian. Aku sedang sibuk bermain
handphone ketika seseorang menyapaku.
“Din.”
“Ya?” aku mendongak
“Boleh duduk di sini?”
Aku speechless.
“Din, boleh duduk di sini?” tanyanya
dengan sedikit bingung
“Eh iya boleh boleh boleh silakan.”
Kami terdiam.
“Apa kabar din?”
Aku bengong lagi. “Din?”
“Eh?”
“Apa kabar, kamu.” Ulangnya sambil
menunjuk diriku
“Kabar? Aku?”
“Iya, gimana kabar kamu?”
“Ohiya baik.”
“Syukurlah. Oiya kenalin, Ditya.”
Sambil menjulurkan tangan, kami bersalaman.
“Dinda.”
Jawabku.
“Pernah liat aku?”
“Ngga yakin, kita pernah ketemu?”
jawabku masih bingung
“Sering, di sini.”
“Oiya? Kok aku gapernah ngeh?”
“Kamu biasanya asik sendiri sama
temen kamu, kalo ngga sama handphone, kalo ngga sama buku.”
“Sepaham itu? Kamu kenal aku?”
“Awalnya sih enggak”
“Terus?”
“Kamu adiknya Gara kan?”
“Mas Gara? Ko tau?”
“Aku temennya waktu SMA”
“Ooh temennya Mas Gara.”
Setelah itu kami mengobrol banyak
hal. Ternyata namanya adalah Ditya dan ia adalah teman sekolah Mas Gara waktu
SMA. Ditya juga pengunjung tetap di coffee shop ini sama sepertiku, satu kampus
denganku dan ternyata memiliki hobi yang sama denganku: membaca buku, dan juga
memiliki kesenangan yang sama yaitu melihat sunset dan sunrise. Di pikir-pikir,
banyak sekali kesamaan antara aku dan Ditya. Kami mengobrol sampai sore,
padahal rasanya kami baru bertemu dan belum mengenal satu sama lain, tapi lebih
tepatnya aku yang belum, dia sudah. Ditya banyak bercerita mengenai aku sampai
membuatku terkejut sendiri.
“Aku kadang baca tulisan kamu. Bagus.”
“Oiya?”
“Iya, kayaknya semuanya udah aku
baca.”
“Wah, terimakasih.”
“Aku juga suka denger puisi yang
kamu bacain di soundcloud?”
Aku tersedak ketika mendengar Ditya
mengatakan kalimat itu.
“Pelan-pelan Din minumnya.”
“Ko bisa? Padahal kan aku jarang
ngeshare akun soundcloud itu.”
“Aku suka main soundcloud juga, kamu
juga follow aku.”
“Aku follow kamu?”
“Iya.”
“Perasaan gada yang namanya Ditya?”
tanyaku
“Emang, aku pake nama samaran.”
“Oh, pantesan.”
“Yaampun aku ngga nyangka dunia
sesempit ini.” Begitulah tanggapanku ketika Ditya bercerita mengenai aku yang
terkadang mengomentari rekaman suara dari Ditya di Soundcloud, pun dia
sebaliknya. Aku merasa seperti semuanya memang sengaja di buat seperti itu.
“Din, nyunset yuk?”
“Dimana? Udah jam segini.”
“Semoga aja masih dapet, yuk
sekarang makannya.” Ditya bangun dari duduk, dan aku mengikutinya.
“Pake motorku aja.”
“Motorku?”
“Tinggal sini aja.”
“Oke bentar.” Aku masuk lagi ke
dalam caffee. “Do, nitip motor ya bentar.”
“Mau kemana lo?” tanya bartender
caffee itu
“Bentar. Makasih Do. Dah.”
“Yuk cabut.” Ajakku pada Ditya.
Aku malu sebenarnya membuka percakapan
terlebih dahulu, gengsi lebih tepatnya, tapi aku juga penasaran kita mau
kemana. Akhirnya ku beranikan diri.”Mau kemana kita, Dit?”
“Ntar juga kamu tau.”
“Wah langitnya bagus banget, pasti
sunsetnya keren.” Komentarku ketika di perjalanan melihat ke arah barat. “Ayo
Dit buruan, nanti kita ga kebagian sunsetnya.”
“Iya sabar.”
“Sampai.”
“Gumuk pasir?”
“Yap.”
“Aku baru pernah kesini.”
“Pantesan.”
“Pantesan kenapa?”
“Gapapa, yuk cepetan udah mulai
gelap nih.”
Aku sedikit berlari ke arah gundukan
pasir di sana, tidak sabar melihat sunset yang tinggal sedikit. “Waw,
baguuuuuus.”
Ditya tersenyum. Aku kembali larut
dengan matahari terbenam di sebelah sana.
“Balik yuk, udah gelap.”
“Yah, sayang banget kita cuma dapet
bentaran.” Keluhku.
“Kesorean soalnya tadi kita dari
jogjanya. Gampang besok kan bisa kesini lagi.”
“Besok?”
“Ya maksudnya besok-besok.”
Aku cemberut. “Iyadeh, yaudah yuk
udah gelap serem juga disini.”
“Yuk”
Sampai di jogja pukul tujuh malam.
Jalanan cukup sepi.
“Din laper ngga?”
“Lumayan.”
“Makan yuk?”
“Dimana?”
“Rica-rica sambel cetar.”
“Hah di mana?”
“Deket malioboro. Di sana tuh enak.
Ya meskipun kaki lima sih. Tapi masakannya bintang lima deh pokoknya.”
“Ahelah kayak sales aja.” Jawabku,
dan kami tertawa.
“Etapi kamu doyan pedes kan?”
“Suka kok malah.”
“Okedeh cocok.”
Meskipun kaki lima, tapi pembelinya
lumayan banyak. Jadi kami harus mengantri dan baru selesai sekitar pukul sembilan
malam. Ditya mengantarku ke coffee tadi sore untuk mengambil motorku, setelah
itu dia mengantar pulang.
“Mau masuk? Kebetulan Mas Gara lagi
pulang dari Singapore.”
“Kapan-kapan ajadeh udah malem. Aku
langsung ya.”
“Okedeh, makasih Dit.”
“Sip.”
Sampai di kamar aku masih
senyum-senyum sendiri, rasanya senang sekali menghabiskan waktu dengan Ditya.
Anaknya seru, ga ganteng sih tapi lumayan lah ngga malu-maluin kalo di bawa
kekondangan, kataku dalam hati. Ketika hendak tidur, tiba-tiba handphoneku
berbunyi, ada pesan masuk dari Ditya. Aku tersenyum.
“Udah tidur Din?”
“Belum.”
“Makasih ya.”
“Buat?”
“Udah mau ketemu aku, udah mau aku
ajakin jalan-jalan, udah mau aku ajakin makan.”
“Sama-sama, Dit.”
“Btw, kok kamu belum tidur?”
“Ini aku mau tidur kok.”
“Yaudah gih sana, udah malem juga
Din.”
“Oke.”
“Goodnight, Din J”
Aku membacanya dalam keadaan masih
senyum-senyum sendiri. Yaampun aku ini kenapa. Lalu setelah berdebat dengan
diri sendiri untuk membalas pesannya atau tidak akhirnya ku putuskan.
“Goodnight too, Dit J.” Setelah itu justru aku tidak bisa
tidur, masih sibuk merasakan euphoria
ketika pergi bersamanya. Ditya yang ternyata takut katak, Ditya yang ternyata
alergi udang. Ditya yang ternyata sering memperhatikanku diam-diam. Bibirku
terus tersenyum. Aku baru bertemu dengannya tapi serasa seperti telah
mengenalnya dengan baik. Aku terus memikirkannya sampai akhirnya jatuh tertidur
entah pukul berapa.
Perasaan
memang tidak bisa di atur
Tidak
tahu jatuh di mana
Tidak
tahu jatuh di siapa
Perasaan
memang sesederhana itu.
Juga
perasaan bahagia
Terimakasih,
Dit J
-D
2 komentar
Portal khilafah dan data Intelijen Negara http://transparan.org/
BalasHapusHarrah's Casino and Racetrack - Mapyro
BalasHapusGet directions, reviews and information for Harrah's Casino and 군포 출장마사지 Racetrack 안성 출장샵 in 당진 출장안마 Joliet, IL. Find directions, 여수 출장샵 reviews and information for Harrah's Casino and Racetrack 경주 출장샵 in