Pulang (Part 4)

by - 18.50

30 hari kemudian
            “Happy birthday Dindaaa.” Aku bangun, mataku masih sangat mengantuk, ku pikir aku bermimpi jadi aku hendak tidur lagi. Tapi tiba-tiba ada sebuah bantal yang di lemparkan seseorang tepat ketika aku hendak tertidur lagi.
            “Siapa sih, rese banget!” Omelku masih dengan mata yang memejam.
            “Bangun bakpawwww.” Aku merasakan suara yang tidak asing, aku membuka mata. Ada banyak orang di dalam kamarku. Dan, Mas Gara ada di sebelahku sambil mencubit pipiku.
            Aku langsung terduduk. Bingung. Tapi seisi kamar justru tertawa. Lalu mereka semua menyanyikan lagu selamat ulangtahun untukku, kulihat jam ternyata pukul 12 malam. Aku tersenyum lalu menangis. Ternyata umurku sudah berkepala dua. Semua orang menyelamatiku dan aku masih menangis.
            “Selamat ulangtahun anak ibu sayang, semoga selalu baik ya.” Ibu mencium pipiku dan aku memeluknya erat sekali. “Makasih ya Ibu, Dinda sayang Ibu.” Lalu Mas Gara, tidak memelukku tapi hanya mencubit pipiku tepat di kanan kiri yang menyisakan merah “Udah gede ya dasar pipi bakpaw.” Aku menggerutu karena pipiku menjadi merah dan sakit. Kebiasaan Mas Gara yang selalu aku rindukan ketika jauh dariku.
            Ternyata juga masih ada teman-temanku, sahabatku tercinta Rinda, Ami, Icha, Faizal, Bagus dan Pandhu juga datang kerumah, padahal tengah malam begini. Aku memeluk mereka bersamaan. Akan senang sekali melihat orang-orang yang kita sayangi berkumpul menjadi satu seperti ini. Tapi sayangnya masih ada yang kurang, Ayah tidak ada dirumah karena harus melakukan perjalanan bisnis keluar kota.
            “Tiup lilin dulu dong don?” Semua yang ada di kamar beramai-ramai menyanyikan lagu. Tiup lilinnya tiup lilinnya tiup lilinnya sekarang juga sekarang juga sekaraaaaang jugaaa. “Make a wish dulu Din.” Oiya, aku menutup mata dan merekatkan kedua tangan ku di depan dada. Meminta segala doa semoga segala harapku terkabulkan. Aamin. Kutiup lilinnya, semua bertepuk tangan. Aku bahagia sekali. Meskipun ada dua laki-laki yang tak bisa di sini meski aku sangat berharap mereka ada disini, Ayah dan Rio.
            Setelah acara tiup lilin, keramaian pindah di ruang tengah. Acara potong kue dan buka kado di mulai. Semua tertawa ketika aku membuka kado yang berisi pakaian dalam dan semuanya berwarna merah jambu. Ku lirik teman-teman, Rinda tertawa paling keras dari semuanya, aku sangat yakin bahwa yang memberikan kado ini adalah Rinda. Kulempar celana dalam tepat di mukanya sampai membuat Rinda kaget dan terdiam, tapi setelah itu gelak tawa justru semakin keras. Ku buka lagi sebuah kado, berisi buku novel yang memang sedang ingin ku beli. “Waah, buku. Yang ngasih siapa? Suka banget.” Rinda mendekatiku, melihat bungkus kado mencari-cari barangkali ada surat di dalamnya tapi tidak ada.
            “Din, tadi aku liat kado itu sama bunga ini di depan rumah kamu. Jadi aku bawa masuk aja.”
            “Dari sapa?” tanyaku
            “Mana kutau. Coba bunganya kali aja ada kartu ucapannya.”
            Ku buka kartu ucapan di kado. Selamat ulangtahun, Dinda. Kayak janji yang udah pernah aku bilang. Besok ketemu di caffe biasa jam 3 ya. See you, Dinda.
            Rinda mengambil kartu ucapan dariku dan membacanya keras-keras. Kompak semua orang mengatakan. “Ciyeeee”. Mukaku memerah, padahal aku sama sekali tidak tahu bunga dan kado ini dari siapa.
            “Eh Din, ini ada inisial D. Siapa?”
            “Gatau.”
            “Cowo misterius itu ya?”
            “Cowo misterius?” Mas Gara memotong
            “Iya mas, ada yang suka sms-in Dinda pokoknya merhatiin Dinda tuh tapi gatau siapa.”
            “Cowo yang waktu itu ke Rumah Sakit?” sambung Ibu
            “Siapa yang di rumah sakit?” tanya Mas Gara
            “Dinda mas, kan dulu Rinda pernah kecelakaan dari motor trus masuk Rumah Sakit nah yang nganterin ke Rumah Sakit ya cowo misterius itu.” Jawab Rinda
            “Kok Mamas ngga di kasih tau?”
            Aku dan Ibu hanya saling berpandangan. “Gaboleh ngasih tau sama Dinda, katanya takut mamas khawatir.” Jawab Ibu
            Mas Gara memelototiku. “Hehehe takut mamas khawatir.” Aku langsung mendekatinya, bersikap manja-manja agar mamas tidak marah. “Jangan marah ya mas yaaa, dinda ga kenapa-napa kok.” Setiap mamas marah, aku langsung bersikap manja kepadanya agar ia tidak marah dan terbukti ampuh. Bahkan sampai aku sudah berkepala dua seperti ini. “Yaudah gapapa. Yang penting ga kenapa-napa. Tapi tetep aja mamas ngga suka.” Jawabnya sambil mencubit pipiku lagi. Gantian aku yang ngambek. Semua yang ada di ruang tengah tertawa. Karena sudah pagi semua teman-teman perempuan di suruh Ibu tidur di rumah. Yang perempuan tidur di kamarku sedangkan yang laki-laki tidur di kamar Mas Gara. Tapi aku dan Mas Gara masih duduk di  ruang tengah.
            “Mas Gara sampe kapan?”
            “Kemaren malem?”
            “Kok aku gatau?”
            “Ya enggalah, kan mamas tidur di hotel biar surprise.”
            “Pantesan. Pulang kok gabilang-bilang?”
            “Namanya juga surprise.”
            “Oiya ya.” Mas Gara mengacak-acak rambutku
            “Udah gede, jangan bloon mulu.” Ku lempar bantal ke arahnya. Lalu kami tertawa.
            Mas Gara adalah satu-satunya saudara yang aku punya. Dari kecil, kami memang sudah dekat, bahkan terkadang banyak yang mengira kami ini bukan sepasang adik kakak tapi sepasang kekasih. Ketika ada yang mengira seperti itu, kami hanya menanggapinya dengan tertawa. Mas Gara adalah sosok laki-laki penyayang, tapi yang aku heran, dia tidak memiliki pacar sampai sekarang ini. Padahal, tampang Mas Gara lumayan, ngga ganteng-ganteng banget sih tapi ya putih. Terlihat seperti potongan laki-laki dewasa yang sangat menghormati perempuan. Dulu waktu kecil, bahkan sampai sekarang. Aku masih bermimpi andai saja Mas Gara bukan kakaku, pasti aku senang sekali menjadi pacarnya. Atau setidaknya, aku ingin memiliki pacar yang sebaik Mas Gara.

You May Also Like

0 komentar

Pages