Aku
terbangun pagi karena suara dering telefon berkali-kali. Dengan mata yang masih
memejam kuangkat telfon dengan berat hati. Hening beberapa menit. Aku hampir
terlelap lagi ketika ada suara seseorang di ujung telefon sana.
“Pagi,
Din.”
Aku
terdiam. “Dit?”
“Ya?”
Kantukku sontak menguap begitu saja mendengar jawaban itu. Ku lihat layar
handphone masih tidak percaya. Beneran Ditya? Parah!
“Din?”
sapanya lagi
“Eh
iya Dit, gimana?”
“Aku
bangunin ya?”
“Ah
engga kok.” Bohongku sambil sibuk membereskan rambut yang berantakan.
“Oh
syukurlah. Lagi apa Din?”
“Masih
di kasur aja inih. Pagi-pagi hujan bikin males. Kamu?”
“Sama
juga Din, mana hari minggu. Selimut mah kayak gamau banget kalo di tinggalin.
Apalagi mandi, haram hukumnya malah haha.”
“Hahaha
bisa aja Dit.”
“Kemana
acara hari ini?”
“Kemana
ya?” tanyaku bingung sendiri
“Yakan
yang mau pergi kamu, masa tanya sama aku?”
“Oiya
ya?”
“Hahaha
kamu mah lucu. Ini beneran udah bangun dari tadi apa baru bangun nih? Masih
ngga connect gitu.”
“Eh
ngga kok udah bangun dari tadi.” Bohongku lagi. “Ohiya aku tau!”
“Tau
apa?”
“Tau
mau pergi kemana, lah. Kan tadi kamu nanya, gimana sih?”
“Oiya
ya? Salah kamu nih.”
“Kok
salah aku?”
“Ya
aku pengennya kamu yang salah.”
“Kobisa?”
“Ya
bisa lah, buat kamu mah apa yang ngga bisa.”
“Hahaha.”
Kami tertawa bersama.
“Ahelah
Dit, pagi-pagi dah ngegombal. Gombalan receh lagi. Parah!”
“Gapapa,
yang penting kamu ketawa. “
“Bisa
aja, Dit.” Pipiku memerah. Apa ini? Tanyaku pada diriku sendiri.
“Ntar
malem keluar yuk?”
“Ke?”
“Turky?”
“Wah?
Serius?” Tanyaku antusias
“Iyain
ajadeh biar cepet.”
“Eh
apasih Dit?”
“Ada
deh ntar malem ikut aja.”
“Sok
bikin penasaran gitu sih.”
“Udah,
ngikut aja ya?”
“Okedeh.”
Jawabku, seperti sudah mengenalnya begitu lama.
Dari siang hingga sore hujan turun dengan lebat, dan
aku sama sekali belum memiliki niat sedikitpun untuk beranjak dari kasur yang
sungguh hari ini menjadi singgasana ternyaman seantero Indonesia. Lebay? Oke.
Sehabis maghrib, Ditya mengirim pesan yang intinya
dia sedang kesal karena terjebak macet di jalan. “Din, tebet macet parah!
Kayaknya sampainya telat deh, ah bête banget inimah.” Aku bahagia ketika
membaca pesan singkatnya, berarti aku masih bisa mengumpulkan niatku untuk
mandi dan bersiap-siap. Satu jam kemudian Ditya datang dengan muka sedikit
suntuk. Meski di chatting kami sudah akrab, tapi rasanya masih canggung ketika
bertemu langsung.
Aku sudah menunggu di gerbang depan blok rumahku.
Masih canggung dan takut kalau-kalau Ibu tau.
“Kemana
nih?”
“Ngopi di Double E ajaya?”
“Oke
Pa Presiden.” Panggilan candaanku padanya.
Motor
melewati jalan yang lumayan ramai. Tapi ternyata di sana sepi.
“Tumben
ya ga rame?” tanyaku
“Orang-orang
lagi sibuk demo kali”
“Demo
apaan?”
“Ituloh
Pak Cahyo, yang berani bentak-bentak koruptor di muka umum.”
“Oh
itu, rame banget emang ya, parah!”
Seorang
pelayan caffee mengantarkan pesanan kami ke meja.
Aku
memandangi minumannya, “Mau nyicipin, Din?”
“Eh
engga makasih. Aku ngga biasa minum kopi” Jawabku malu
“Emangnya
kenapa?
“Ya
gabisa aja, pait jadinya.”
“Namanya
juga kopi. Kalo namanya Dinda mah manis jadinya. Ciee”
“Apasih
dit.” Kami tertawa.
“Nih, kalo minum kopi tuh di nikmatin. Di rasain,
bukannya langsung di telen.”
“Ada
caranya tah?”
“Ada
lah.”
“Ribet
ya, mau minum aja ada caranya. Btw, kamu kenapa suka kopi?”tanyaku penasaran
“Soalnya
kopi itu bisa bikin siapapun jadi temen, ngga kesepian” jawabnya sederhana.
“Kobisa?
Bukannya biasanya cowo tuh yang bisa buat jadi temen rokok ya?”
“Kalo
menurut aku sih ngga.”
“Kogitu?”
“Yaemang
gitu.”
“Kamu
suka kopi apa?”
“Kopi
apa? Aku suka semua kopi.”
“Kogitu?”
“Kopi
itu yang penting ngopinya sama siapa, kopi biasa harganya cuma lima rebu tapi
bisa ketawa-tawa sama temen ya aku suka. Tapi kalo kopi harganya gope tapi
ngopinya di caffe dan sendirian aku ngga suka.”
“Sesederhana
itu?”
“Iya.”
“Aku
baru denger ada orang suka kopi alesannya gitu?”
“Masa?”
“Beneran.”
“Bodo.”
Matanya jahil memandangku
“Ngeselin
banget sih!” lirikku mencubitnya
“Habis,
kamu serius banget sih hehehe.”
“Yaemang
serius!”
“Idih
ngambek idih. Jangan ngambek doong.” Rayunya masih tetap menjahiliku.
“Ga.”
“Cie
ngambekan.”
“Apasih.”
Jawabku ketus
“Cabut
yuk.”
“Sekarang?
Kan baru nyampe?”
“Taun
depan. Ya sekarang lah.”
“Mau
kemana?.”
“Ngikut
aja kenapa si dasar bawel.”
“Aku
ngga bawel tau. Yaya deh okey. Bentar.”
“Ngapain?”
“Ngabisin
coklat dulu lah, kan sayang.”
“Sayang?”
“Sayang
belum abis.”
“Sama aku sayang nggak?”
“Nggaaaaak!”
jawabku yakin. “Hahaha.”
“Hmmm.
Yuk.”
Kami
berjalan keluar dari caffee. Ditya tidak
mengatakan apapun ketika kami sudah pergi menjauhi caffee. Aku bingung, tapi
aku diam saja. Sudah setengah jam, Ditya masih focus mengendarai motornya, aku
justru mengantuk. Aku terkejut ketika Ditya mengerem mendadak, helm kami
bertabrakan. Aku bangun gelagapan.
“Din?”
“Ya?”
“Ngantuk
ya?”
“Hehe
iya.”
“Sabar
ya bentar lagi sampe”
“Emang
mau kemana sih Dit?”
“Udah
ikut aja.” Kedua tanganku di tarik Ditya kedepan, melingari perutnya.
“Pegangan, biar ga jatuh.”
Aku
menurut saja, tapi kantukku langsung hilang. Rasanya canggung, tapi tidak aneh.
Beberapa menit kemudian, kita sampai di jalan menikung yang sepi dengan hutan
di kanan kiri, tidak ada satu motorpun yang lewat kecuali motor kami. Tanpa
pikir panjang, aku langsung mengencangkan peganganku, Ditya melirik, aku
melihatnya sedikit tersenyum.”Ah dasar laki, pinter banget kalo cari
kesempatan. Tapi ya cewenya mau aja, dasar cewe eh atau dasar akunya ajasi hehehe.”
Batinku dalam hati.
“Sudah
sampai.”
“Di
mana ini Dit?” Aku sedikit panic, karena yang kulihat hanya bukit dan
pohon-pohon.
Ditya
berjalan kedepan, “Sini.”
“Gamau,
kamu ngga akan aneh-aneh kan?” Aku panic, terpikirkan hal-hal yang membuatku
sedikit takut.
“Ya
enggalah, sini.”
“Gamau.”
Aku sedikit mundur
Ditya
menghampiriku. “Stop, jangan deket-deket. Kamu mau apasih Dit?” tanyaku masih
panic. “Berenti, jangan deket-deket. Aku mau pulang aja!” mataku sudah mulai
berair. Aku takut sekali.
“Din,
aku nggamau ngapa-ngapain kamu. Aku cuma mau ngeliatin sesuatu sama kamu. Kamu jangan
salah paham dulu. Sekarang kamu buka hp kamu, cari kontak Gara. Kalo misal aku
ngapa-ngapain, kamu bisa langsung telfon. Okey?”
“Udah.”
“Nah,
sekarang kamu kesini. Aku mundur, kamu maju. Okey?”
“Ngga
macem-macem kan?”
“Engga,
percaya sama aku Din.” Aku perlahan-lahan berjalan kedepan, menaiki bukit
mendekati Ditya. Dan….
Aku
masih melotot melihat pemandangan yang baru saja aku lihat. Ditya tersenyum,
menghampiriku. “Bagus?”
“Bagus
banget, Parah!”
“Gajadi
telfon Gara?”
“Eh?”
Keningku berkerut. “Hehehe engga.”
“Mukamu
tuh kaya udang rebus.”
Aku
langsung menutupnya dengan jaket. Malu. “Dah gausah ditutupin gitu. Nanti
berubah warna jadi biru malah hahaha.” Ledek Ditya.
“Kamu
tau tempat ini darimana?”
“Dari
Tuhan.”
“Kogitu?”
“Kogitu
mulu kamu tuh dari tadi.”
“Yakan
nanya hehehe.” Jawabku
“Duduk
yuk?”
Setelah
itu Ditya bercerita panjang lebar, tentang hidupnya, sekolahnya, tentang aku,
tentang hidupku, juga tentang ia yang menemukan tempat ini setelah lari dari
rumah karena melihat orangtuanya bertengkar. Ternyata di balik wajahnya yang
begitu berani dan tegas, banyak kelembutan yang ia sembunyikan untuk perempuan
yang selalu ia sayangi, Ibunya. Yang ia bilang, sudah berada di antara
bintang-bintang di atas sana. Melihatnya, melihat aku, melihat kami.
“Kalo
kangen ibu, aku kesini.”
“Sering?”
“Lumayan.”
“Sama
siapa?”
“Ini
pertama kalinya aku ngga sendirian.” Jawabnya lembut sambil memandangku.
Aku
diam. Menyembunyikan senyum.
Aku ingin terus seperti ini.
Jauh dari hiruk pikuk dan lampu kota
yang berkilauan
Aku ingin beristirahat dari
bisingnya hidup
Aku ingin disini, lebih lama,
bersamamu. - D