Laki-Laki Misterius (Part 3)
Dinda dan Rinda sedang duduk di sudut salah satu caffee
di dekat kampus. Di sana, Dinda menceritakan laki-laki misterius yang beberapa
kali memberinya bunga di Rumah Sakit, bahkan Rinda juga terkejut ketika Dinda
mengatakan bahwa orang yang mengantarnya ke Rumah Sakit adalah laki-laki
misterius itu.
“Eh
gila, aku jadi makin penasaran nih.”
“Kamu
gitu, aku apalagi?”
“Eh
ati-ati lho Din, jangan-jangan dia suka mata-matain kamu.”
“Dih,
jangan bikin parno dong Rin.”
“Oiya,
tadi kayaknya kamu mau cerita. Ada apa?”
“Pacarku,
malesin banget duh ah.” Muka Rinda berubah kesal.
“Kenapa
lagi sih?”
Rinda
bercerita mengenai kekasihnya yang sangat overprotective, ke manapun pergi,
dengan siapa, ia harus memberi tahu. Terkadang juga, ketika aku sedang pergi
berdua dengan Rinda, pacarnya secara mendadak menghampiri kami. Tak jarang
juga, mereka bertengkar di depanku. Kekasihnya adalah seseorang yang kasar, aku
pernah melihat dengan kepalaku sendiri ketika Faza, kekasih Rinda, hampir menampar
Rinda ketika aku sedang pergi bersamanya di pusat perbelanjaan. Ada beberapa
pasang mata yang melihat kami, lalu dengan kasar, Faza menarik tangan Rinda
menuju parkiran. Rinda tak bisa apa-apa selain menangis. Dan aku, aku
benar-benar hanya bisa melihat sahabatku sendiri di siksa kekasihnya. Sudah ku
beri saran bahwa akan lebih baik ketika mereka berpisah. Tapi, entah apa. Rinda
masih tetap menjalani hubungan dengan laki-laki kasar seperti itu. Sebagai
seorang sahabat, tak ada yang bisa ku lakukan selain menyediakan telinga dan
pundak ketika Rinda bercerita dan menangis kapanpun ia butuh. Di tengah-tengah cerita,
handphone Rinda berbunyi, kulihat ada nama Faza di layarnya. Rinda mengangkatnya
dengan sedikit menjauhiku.
“Rin,
aku cabut ya. Biasa nih.”
“Yaudah
gih sana, ati-ati.”
“Kamu
gapapa disini sendiri? Gapengen pulang?”
“Gapapa
Rin, aku masih pengen disini.”
“Yaudah,
duluan ya.”
“Iya.”
“Bye.”
Sambil melambaikan tangan padaku. Rinda sedikit berlari ke luar. Kulihat ada
Faza yang sedang menunggu di dalam mobil. Dasar laki-laki, suka seenaknya.
Karena
di tinggal pergi dan tidak ada teman ngobrol, Dinda berjalan ke arah rak buku
yang di sediakan oleh caffe. Salah satu alasan mengapa Dinda sering ke caffee
ini adalah karena banyak buku yang di sediakan untuk di baca. Ketika Rinda
sedang sibukpun, terkadang Dinda tetap pergi ke caffe ini hanya untuk membaca
buku. Setelah membaca beberapa puluh lembar buku dan merasa bosan, Dinda
membuka social media yang ia miliki. Dengan iseng, Dinda mengupload sebuah foto
yang buku dan memberikan keterangan tempat di mana foto itu di ambil di instagram
history miliknya. Hari ini, caffe sedang sepi karena memang bukan akhir pekan,
dan waktu sudah semakin sore. Tempat duduk milik Dinda merupakan tempat yang
strategis, dengan pembatas dari kaca, Dinda bisa melihat orang-orang yang hilir
mudik di luar caffee. Dinda juga bisa melihat siapa yang datang dan pergi ke caffee
dari tempat duduknya.
Lima
belas menit setelah mengupload foto dan tempat di instagram history, ada seorang
laki-laki yang memasuki caffee dengan postur yang hampir mirip dengan Rio.
Laki-laki itu memakai jaket hitam dan topi, sehingga Dinda tidak bisa melihat
wajah lelaki itu dengan leluasa. Karena penasaran, Dinda terus memperhatikan
laki-laki itu tanpa pernah berpaling. Namun tiba-tiba ponselnya berdering,
pintu caffee terbuka, terdapat lonceng di sana yang membuatnya mengalihkan
pandangan dari handphone ke pintu masuk, tapi ternyata hanyalah segerombolan
remaja tanggung yang sedikit ribut, Ia melirik ke tempat laki-laki itu dan
masih ada. Dinda berkutat lagi dengan handphone dan membaca pesan yang baru
saja ia terima, ia sedikit terkejut melihat pesan itu, yang berisi. “Jangan
terlalu memperhatikan seperti itu, pandanganmu jeli sekali, Dinda. Selamat menikmati
coklat dan novelnya. Aku pergi dulu.”
Seketika itu juga, Dinda langsung mengalihkan pandangan ke arah
laki-laki itu, tapi tak ada siapapun. Karena penasaran, Dinda bangkit dari
kursinya dan menanyakan pada bartender yang sudah ia kenal.
“Do,
liat cowo yang tadi duduk disitu ngga?”
“Kenapa
emang Din?” jawabnya bingung
“Tadi
masih disitu, waktu aku liat handphone sebentar, cowonya udah ngga ada. Kamu
liat ngga Do?”
“Temen
lo?”
“Liat
engga Do?” jawabku sedikit memaksa
“Kaga
liat gua, bentar.” Dodo menanyakan pada teman perempuannya nya yang bekerja di
bagian kasir. “Liat cowo yang di situ nggak Rat?”
“Oh
mas-mas yang itu? Barusan aja cabut pake buru-buru, Do. Mungkin masih di
parkiran.”
“Mas-mas
yang itu?” tanyaku
“Iya,
dia kan sering kesini mbak. Pelanggan udah lama, kayak mbaknya juga.” Jawab
penjaga kasir itu.
Karena
mendengar jawaban itu, Aku langsung berlari kearah parkiran dan ketika membuka
pintu, langkahku terhenti oleh panggilan Dodo. “Eh Din, belum bayar lu.”
Setelah mendengar apa yang di katakana Dodo, aku langsung berlari kearah
parkiran tanpa menghiraukannya. Sampai di tempat parkir, ternyata tak ada
siapapun. Tapi, ada sesuatu yang membuat Dinda sedikit terkejut. Ada sebuah
kotak kado yang berada di atas motornya. Berarti, cowo yang tadi, beneran cowo
misterius itu, batin Dinda.
Setelah
kembali ke dalam caffee, mengembalikan novel yang baru saja ia baca setengahnya
ke rak buku, merapikan barang-barangnya yang berserakan di meja dan membayar ke
kasir, Dinda langsung memutuskan untuk pulang ke rumah.
“Pulang
dulu ya, Do.”
“Oke,
ati-ati Din.”
“Yoi.”
Jawabku sambil berlalu
Sesampainya
di rumah, Dinda langsung membuka kotak kado yang ia temukan di atas jok motornya
tadi sore, ternyata berisi sebuah boneka panda dan sebuah hiasan dinding seperti sebuah pengingat tanggal yang berisi
tulisan H-30. Karena tidak mengerti, kado itu justru membuatnya semakin
bingung. Seperti sedang bermain puzzle, semakin lama semakin banyak
potongan-potongan yang terkumpul. Tapi Dinda tidak mengerti, potongan puzzle
yang beraturan tersebut justru membuat Dinda semakin bingung. Di kotak kado
itu, juga ada surat yang tertulis.
Hi, Dinda Gumintang
Mulai hari ini, hitung
mundur dari angka 30 ya. Setiap hari, kamu harus ngerobek kertas penghitung
hari itu satu-persatu. Nanti, di hari ketiga puluh itu, aku bakal nemuin kamu
secara langsung. Tapi sebenernya kita udah sering ketemu, kamu aja yang ngga
pernah ngeliat ke sekeliling kamu.
Sampai jumpa tiga puluh hari lagi,
Din.
Salam, D
Membaca
sebuah pesan seperti itu justru semakin membuat Dinda merasa bingung. “D? Siapa
Inisial D?” Dinda meruntut nama teman-teman yang memiliki nama berhuruf depan
“D” ada Dodo, Doni, Dani, Djoko, Damar, dan beberapa nama lainnya. Tapi,
sepertinya tidak ada yang memiliki bentuk tubuh seperti cowok misterius yang
bertemu di caffe tadi sore.
Dinda
memikirkan laki-laki misterius itu sampai tengah malam, rasa penasarannya
benar-benar tak bisa di bendung lagi. Akhirnya Dinda membuka laptopnya, mencari
nama-nama akun yang berteman dengannya di berbagai media social. Mulai dari
twitter, path dan instagram. Bahkan, beberapa akun media social yang sangat
jarang di buka pun turut ia buka untuk mencari laki-laki misterius yang
berinisial awalan D itu. Melihat jarum jam, Dinda sedikit terkejut, karena
terlalu serius dan bersemangat Dinda tidak merasa bahwa jarum jam sudah berada
di pukul 2 dini hari.
“Yaampun
udah jam segini aja.” Keluh Dinda pada dirinya sendiri.
0 komentar